;
Penelitian ini mengkaji pengaturan ideal peninjauan kembali pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XII/2013. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kedudukan SEMA dalam sistem peratiran perindang- undangan di Indonesia, mengetahui kekuatah hukumnya serta merumuskan pengaturan ideal Peninjauan Kembali perkara pidana pasca terbitnya putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu dengan mengkaji bahan-bahan pustaka (studi kepustakaan). Karena itu, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang mencakup bahan hukum primer, skunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan telaah kepustakaan (library research) dan pengumpulan informasi yang didapatkan dengan media internet (virtual research). Analisa data menggunakan metode deduktif.
Hasil Penelitian ini menunjukan: Pertama, berdasar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-Undangan dan Surat Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
271/KMA/SK/X/2013 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, kedudukan SEMA bukan merupaka peraturan perundang-undangan melainkan aturan kebijakan yang dikeluarkan oleh pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan; Kedua, SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kekuatan mengikat SEMA hanyalah bentuk ketaatan subjek hukum yang menjadi sasaran dari SEMA tersebut, yakni lingkungan peradilan yang berada di bawah MA; Ketiga, Pengaturan Ideal PK perkara pidana adalah MA harus menarik kembali SEMA Nomor 7 Tahun 2014 dan pengaturan PK harus disesuaikan dengan putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013, dengan formulasi: (1) Peninjauan Kembali atas peninjauan kembali dapat dilakukan dengan syarat limitasi sebagaimana tercantum pada Pasal 263 ayat 2 KUHAP; (2) Peninjauan
Kembali atas putusan peninjauan kembali tidak dapat menangguhkan ataupun menghentikan eksekusi; (3) menunjukan novum yang berbeda dengan novum yang dijadikan dasar pengajuan PK sebelumnya