Abstrak


Pengaturan Perlindungan Hukum Aborsi Aman Dan Legal Bagi Korban Tindak Pidana Perkosaan


Oleh :
Kasih Karunia - E0019222 - Fak. Hukum

Kasih Karunia. E0019222. 2023. PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM ABORSI AMAN DAN LEGAL BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN. Penulisan Hukum (Skripsi). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Kekerasan seksual berupa tindak pidana perkosaan terus menerus bertambah di Indonesia. Dilansir dari Catatan Tahunan 2020 Komisi Nasional Perempuan Indonesia (selanjutnya disebut Komnas Perempuan), kasus Kekerasan terhadap Perempuan tercatat sebanyak 299.911 kasus terdiri dari kasus yang ditangani oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama, Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan dan Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan. Dari total 299.911 kasus tersebut, 21% (dua puluh satu persen) kasus Kekerasan terhadap Perempuan di ranah publik yang salah satu didalamnya terkait dengan tindak pidana perkosaan (CATAHU Komnas Perempuan, 2020). Korban tindak pidana perkosaan tidak jarang dicemooh atau dikucilkan oleh masyarakat dikarenakan masih melekatnya anggapan bahwa wanita atau korban secara sengaja ataupun tidak ‘memancing’ pelaku untuk bersetubuh dengannya. Victim blaming yang masih diterapkan pada korban perkosaan menyebabkan para korban enggan untuk melaporkan apa yang terjadi pada diri mereka. Akibat tidak adanya laporan, maka proses hukum tidak dapat dilakukan dan korban tidak dapat menerima haknya yang jelas dilindungi dan dijamin oleh undang – undang. Salah satu hak yang kebanyakan dari mereka tidak ketahui adalah hak untuk melakukan aborsi. Hak aborsi ini dapat dilakukan apabila terjadi kehamilan sebagai bentuk akibat dari tindak pidana perkosaan. Aborsi dapat dilakukan menurut Undang – Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 75 – 76. Terkait penyelenggaraannya dimuat dalam PERMENKES No. 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.Kurangnya sosialisasi internal lembaga pendukung undang – undang ini menyebabkan banyak korban tindak pidana perkosaan yang tidak bisa mendapatkan atau sulit untuk mengakses hak mereka untuk melakukan aborsi. Selain prosedur yang cukup panjang, ketidaktahuan para pihak yang terlibat memperlambat proses sehingga usia kehamilan korban melewati batas usia janin yang diizinkan untuk diaborsi menurut Pasal 76 Undang – Undang Kesehatan yakni sebelum 6 (enam) minggu dari hari pertama terakhir kali korban mengalami menstruasi. Akibatnya, banyak korban perkosaan yang akhirnya terpaksa mengandung dan melahirkan anak yang tidak diinginkan, atau jika korban adalah dibawah umur, maka tubuhnya yang belum siap untuk mengandung dipaksa melahirkan, sehingga pada akhirnya baik ibu maupun bayi tidak dapat diselamatkan.