Abstrak


Rekonstruksi “Archetype” Warna Lokal Jawa dalam Sastra Indonesia


Oleh :
Trisna Kumala Satya Dewi - 196002281986012001 - Fak. Ilmu Budaya

Pada wacana globalisasi, kesadaran tentang identitas, lokal (lokalitas) semakin penting (setting point), demikian pula dalam wacana sastranya. Gejala perkembangan sastra Indonesia yang berwarna kedaerahan dimulai sejak tahun 1970-an. Pada era tersebut beberapa karya sastra ikut mewarnai trend perkembangan sastra Indonesia yang mengatakan bahwa pada paruh dekade 1970-an (1977) daerah setting novel Indonesia mulai menunjukkan arah bermain di Jawa Tengah. Perkembangan hingga tahun 1970-an (Teeuw, 1988:84-85), bahkan hingga tahun 2000-an.  Ditinjau dari sudut pandang dunia pengarang karya-karya tersebut, jika direkonstruksikan, maka sesungguhnya pengarang berpijak pada akar budayanya (Jawa) yang ditimbanya dari kesadaran purba kebudayaan Jawa yang sekaligus menjadi pandangan dunia pengarangnya. Pandangan dunia inilah yang disebut arketipe, yaitu bawah sadar kolektif yang turun- temurun sebagai tradisi sehingga harus dibedakan dari bawah sadar personal individual yang berupa pengalaman pribadi.  Arketipe (archetype:kesadaran purba) yang merupakan tumpuan pandangan dunia dalam novel SS (Umar Kayam), BBM (Y.B.Mangunwijaya), PP (Linus Suryadi), RDP (Ahmad Tohari), CN (Arswendo Atmowiloto), dan PPr (Umar Kayam) adalah kepasrahan, kesumarahan atau obsesinya terhadap nasib dan kehidupan. Hal ini hakikatnya terkait dengan konsep kebudayaan Jawa tentang nilai yang  didasarkan pada pandangan hidup orang Jawa, yaitu keseimbangan emosional-statis, emosional sebagai nilai tertinggi.