Laut Mediterania Timur merupakan salah satu kawasan maritim yang memiliki aspek geografis yang sangat strategis bagi kawasan Eropa, Asia hingga Afrika. Tidak terkecuali bagi Turki, Yunani serta Siprus sebagai negara yang memiliki batas maritim pada kawasan ini. Dimana kontrol kawasan Laut Mediterania Timur bagi masing-masing negara merupakan hal yang krusial bagi keamanan sampai keuntungan satu negara. Sayangnya kondisi geografis batas maritim setiap negara memiliki interpretasi yang berbeda dan bertabrakan, hal ini menyebabkan adanya konflik sengketa maritim pada kawasan Laut Mediterania Timur. Pada konflik sengketa ini, pemerintah Turki dibawah kepemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdo?an mengeluarkan kebijakan luar negeri yang agresif serta ekspansif untuk menetapkan klaim Turki di kawasan Laut Mediterania Timur. Kebijakan Turki menimbulkan kekhawatiran dimana aksi Turki dapat memicu konflik yang lebih kompleks, serta meningkatkan ketegangan antar negara-negara sekitar. Penelitian ini akan menganalisa bagaimana identitas Neo-Ottomanisme yang berfondasi pada jejak historis Turki pada kawasan Mediterania Timur, serta jati diri Turki sebagai negara yang agresif dan imperialistis digunakan oleh Presiden Erdo?an untuk merumuskan politik luar negeri Turki di kasus sengketa maritim Laut Mediterania Timur pada tahun 2014-2022. Untuk menjawab analisis tersebut, penulis akan menggunakan teori konstruktivisme Alexander Wendt, konsep Neo-Ottomanisme, serta doktrin Blue Homeland. Penulis menemukan bahwa Presiden Erdo?an mengkonstruksi kembali identitas Neo-Ottomanisme untuk membangun kepentingan Turki di kawasan Mediterania Timur, dimana kepentingan tersebut diaplikasian melalui kebijakan luar negeri yang agresif berdasarkan doktrin Blue Homeland. Penemuan ini membuktikan bagaimana identitas historis sebuah negara masih relevan untuk digunakan pada masa sekarang, khususnya identitas yang menitikberatkan pada kawasan maritim sebuah negara.