Abstrak


Pusat Rehabilitasi Adiksi Gawai pada Anak di Kota Surakarta dengan Pendekatan Healing Environment


Oleh :
Pelangi Desi Farhani - I0217073 - Fak. Teknik

WHO menetapkan adiksi gawai sebagai penyakit pada tahun 2018 karena fenomena dan efeknya yang semakin nyata (Sumber : ICD-11). Hal ini didukung dengan adanya peningkatan kasus adiksi gawai di  indonesia. Kondisi ini semakin memburuk saat pandemi terjadi, terlihat dari hasil survey durasi penggunaan gawai pada anak meningkat hingga 8 jam sehari (APJII, 2020). Fenomena ini terjadi karena ruang gerak anak menjadi terbatas dan gawai menjadi solusi cepat bagi banyak orang tua untuk menghibur anaknya. Peningkatan kasus adiksi gawai juga terlihat di RSJD Surakarta dari tahun 2018 hingga 2020 mencapai 100% (RSJD Surakarta, 2020).

Kurangnya stimulasi fisik membuat adiksi gawai dianggap berbahaya, karena hal ini dapat mengganggu perkembangan motorik kasar anak (Ramdani & Azizah, 2019). Selain fisik, kesehtan mental juga akan terganggu dengan timbulnya rasa candu dan masalah lainnya (Wulandari & Hermiati, 2019).

Dengan fenomena yang terjadi nyatanya belum disertai penyediaan fasilitas yang memadai di Surakarta, mengingat statusnya sebagai kota ramah anak pada tahun 2021. Fasilitas yang tersedia masih menyatu dengan fasilitas lain seperti rumah sakit dan klinik tumbuh kembang anak atau belum  menggunakan lingkungan dengan desain yang dapat mendukung proses penyembuhan.

Menurut Robert Kaplan lingkungan memiliki peran besar terhadap proses penyembuhan mencapai 40% (1993). Maka dibutuhkan fasilitas rehabilitasi dengan konsep lingkungan yang mendukung proses penyembuhan. Healing environment dapat digunakan sebagai konsep acuan karena memiliki prinsip pembentukan lingkungan yang bertujuan memelihara  kesehatan  mental serta fisik anak, keluarga dan tenaga medis (Lidayana, Alhamdani & Pebriano, 2013). Oleh karena itu perlu dibuat pusat rehabiltasi adiksi gawai pada anak di kota surakarta dengan pendekatan healing environment.