Pada dasarnya terhadap harta bersama dalam perkawinan, pemindahtanganannya harta bersama dalam perkawinan memerlukan persetujuan kedua pihak yaitu suami dan istri. Berbanding dengan hal tersebut guna melakukan perbuatan hukum, seseorang harus dalam keadaan cakap. Keadaan dimensia adalah sebuah bentuk tidak cakap menurut hukum. Pada penelitian ini, Penulis menyoroti adanya seorang istri yang dimensia yang akan menjual harta bersama. Penelitian ini bertujuan untuk (1) memahami terjadinya pelimpahan wewenang dalam pengampuan dari isteri kepada anak; (2) memahami pertanggungjawaban hukum bagi penderita dimensia dalam melakukan transaksi jual beli tanah.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang bersifat preskriptif yaitu penelitian hukum untuk menghasilkan sebuah argumentasi. Penelitian disusun menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan studi kasus (study case). Guna memberikan argumentasi isu hukum, digunakan jenis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang selanjutnya dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis dan dilakukan teknik penafsiran. Secara khusus Penelitian ini mengupas penetapan pengadilan tentang pengampuan terhadap seorang istri yang menderita dimensia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pengampuan atas istri yang menderita dimensia sebenarnya bisa diberikan kepada suami, namun dalam hal ini pengampuan dilimpahkan wewenangnya kepada anak pertama perempuan dimana pelimpahan wewenang dalam pengampuan dilakukan untuk melindungi harta bawaan dan harta bersama yang dimiliki oleh seorang istri dengan dimensia; (2) apabila terjadi jual beli atau pemindahan hak atas tanah tanpa melalui pengampuan, perjanjian tersebut berpotensi dapat dibatalkan, maka diperlukan pengampuan yang bertindak mewakili istri yaitu anak perempuan tersebut. Pengampuan sebagaimana ditetapkan dalam Penetapan Nomor 3/Pdt.P/2023/PN Wng telah sesuai dengan hukum yang berlaku.