Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana masyarakat Tionghoa di
Solo mengadaptasi budaya mereka dalam merawat dan memperingati perayaan
Imlek. Penelitian ini menggunakan teori Adaptasi Sosial dari Robert K Merton dan
teori Konflik dari Lewis A Coser. Lokasi penelitian mencakup tiga klenteng di Solo,
yaitu Klenteng Tien Kok Sie, Klenteng Cetya Ksitigarbha, dan Klenteng Poo An
Kiong. Klenteng-klenteng ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat
sosialisasi dan simbol toleransi antar agama. Metode penelitian yang digunakan
adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data dikumpulkan melalui
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Peneliti menggunakan purposive
sampling untuk memilih 13-15 responden yang terdiri dari pengurus klenteng,
tokoh masyarakat Tionghoa, dan individu yang pernah terlibat dalam konflik terkait
perayaan Imlek. Teknik pengumpulan data mencakup wawancara mendalam
dengan penanggung jawab klenteng, observasi langsung kegiatan perayaan Imlek,
dan analisis dokumentasi terkait adaptasi sosial-kultural masyarakat Tionghoa.
Validitas data dijamin melalui triangulasi sumber untuk memperoleh pemahaman
yang komprehensif dan mendalam. Analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa strategi adaptasi sosial-kultural masyarakat Tionghoa di Solo
melibatkan pemeliharaan tradisi dan ritus perayaan Imlek sambil mengakomodasi
perubahan sosial dan lingkungan sekitar. Tantangan seperti penolakan lampion
karena kebisingan dan potensi kebakaran diatasi melalui dialog dengan masyarakat
sekitar dan penyesuaian dalam pelaksanaan perayaan. Penelitian ini memberikan
wawasan penting tentang bagaimana masyarakat Tionghoa di Solo
mempertahankan identitas budaya mereka dalam konteks sosial yang dinamis dan
beragam.