Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK) di Indonesia diatur oleh UU Keolahragaan dan UU Sistem Pendidikan Nasional. PJOK termasuk bagian dari proses pendidikan formal dan nonformal. PJOK memiliki peran penting dalam meraih tujuan pendidikan nasional. Perlu dilakukan evaluasi kebijakan tentang mata pelajaran PJOK yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah model evaluasi CIPP dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena peneliti akan berhadapan dengan data tekstual. Model CIPP memiliki orientasi yang kuat terhadap evaluasi pelayanan dan prinsip yang berlaku dalam masyarakat. Kebijakan PJOK di Indonesia belum dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya tujuan PJOK. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Jumlah peserta didik dalam satu kelas yang terlalu banyak, sehingga sulit untuk menjaga kualitas pembelajaran; (2) Guru PJOK harus melakukan modifikasi materi dan pembelajaran, karena keterbatasan sarana dan prasarana; (3) Penggunaan jam pelajaran yang kurang efektif dan efisien; (4) Alokasi waktu yang kurang mencukupi untuk beraktivitas fisik dan (5) Standar sarana dan prasarana yang tidak sinkron dengan kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik. Dampak dari hal-hal tersebut antara lain: (1) Kualitas ketrampilan motorik peserta didik kurang memadai; (2) Penguasaan ketrampilan gerak dasar kurang memadai; dan (3) Sulit untuk menetapkan standar evaluasi yang konsisten. Terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam kebijakan PJOK di Indonesia, yaitu: Esensi PJOK di Indonesia perlu diperjelas, yaitu sebagai proses pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan karakter positif, keterampilan motorik, kesehatan, dan pengetahuan tentang gaya hidup sehat dan aktif. Istilah yang tepat untuk mata pelajaran PJOK adalah "Pendidikan Jasmani", bukan "Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan". Kurikulum PJOK perlu disesuaikan dengan esensi pendidikan jasmani yang baru. Hal ini meliputi perubahan pada kompetensi yang harus dicapai, ruang lingkup materi, penataan alokasi jam pelajaran, jumlah kelas paralel yang boleh dibuka oleh suatu sekolah, dan standarisasi instrumen penilaian.