;
Pengesahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia pada 2022 lalu merupakan titik balik penyelenggaraan hukum pidana
nasional di Indonesia. Setelah lebih dari 100 tahun mengimplementasikan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana yang
diadopsi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda, kini Indonesia memiliki
Kitab Undang-Undang Pidana. Dengan menggunakan metode penelitian normatif,
penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui kondisi kekinian 2 formulasi
kitab undang-undang hukum pidana yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Pada Undang-Undang 1 Tahun 1946 dijumpai
masih beraliran hukum pidana klasik yang masih menitikberatkan pada teori
absolut dan penggunaan keadilan retributif. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2023 sudah berorientasi pada hukum pidana beraliran modern yang
menitikberatkan penggunaan teori relatif dan keadilan restoratif guna memberikan
kesempatan untuk rehabilitasi dan reintegrasi pelaku tindak pidana ke dalam
masyarakat dan memperhatikan hak asasi manusia dan menjunjung tinggi
prinsip-prinsip keadilan. Penelaahan masa depan pidana mati dalam Hermeneutika
Dekonstruktif memberikan hasil bahwa kebenaran tidak hanya berjumlah satu
tetapi banyak, sehingga teks dapat diinterpretasikan sampai tidak terhingga.
Dalam hal pidana mati yang ditelaah secara lebih mendalam dengan Hermeneutika
Dekonstruktif dapat dihubungkan relasinya dengan sisi Aparat Penegak Hukum,
Pembuat Peraturan Perundang-Undangan, Terpidana, Korban/Keluarga Korban, dan
Penerapan Sanksi. Dalam relasinya dengan beberapa aspek diatas, dapat
disimpulkan bahwa eksistensi pidana mati yang masih ada dalam KUHP baru adalah
sebagai produk hukum responsif yang masih dibutuhkan guna keadilan korban,
tetapi dalam pengimplementasiannya harus berhati-hati demi penegakan hukum yang
adil, seimbang, dan bermanfaat.