Kampung Batik
Laweyan merupakan sebuah kampung bersejarah yang keberadaannya telah ada sejak
Kerajaan Pajang di abad ke-14. Kampung Batik Laweyan saat ini telah berkembang
menjadi 3 fungsi yaitu sebagai permukiman, industri batik serta kampung wisata.
Kampung Laweyan telah tumbuh menjadi kawasan industri batik yang cukup besar di
Kota Surakarta. Namun, pertumbuhan industri batik di Laweyan belum mampu
terlepas dari pencemaran lingkungan akibat buangan limbah dari produksi batik
meskipun telah dilakukan instalasi IPAL komunal oleh GTZ pada tahun 2007.
Kemudian pada tahun 2019, Kementerian Perindustrian Republik mendorong agar
sentra industri batik di seluruh Indonesia dapat lebih ramah lingkungan. Hal
ini ditandai dengan terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian No. 39 Tahun 2019
yang mana pengusaha batik diarahkan dalam proses produksi mengutamakan
efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Selain itu, dengan
berkembangnya kampung wisata di Kota Surakarta memunculkan konsep pariwisata
hijau untuk solusi pengembangan pariwisata yang berkelanjutan sesuai dengan
visi misi Kota Surakarta. Sejalan dengan hal ini, pemerintah Kota Surakarta
juga mendorong setiap kelurahan untuk membentuk Kampung Iklim dalam rangka
meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim.
Organisasi FPKBL di Kampung Batik Laweyan juga memiliki visi misi untuk
menjadikan Laweyan sebagai cagar budaya sekaligus pusat industri batik dengan
konsep pengembangan kepariwisataan dengan pengembangan yang berkesinambungan
serta ramah lingkungan. Sebagai kampung industri batik sekaligus kampung wisata
yang ramah lingkungan, perlu untuk mengkaji terkait tingkat kesiapan masyarakat
Kampung Batik Laweyan sebagai Kampung Industri Batik yang ramah lingkungan
sejalan dengan program dari pemerintah setempat dan program dari
Kementerian Perindustrian. Dalam penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan analisis skoring menggunakan Community Readiness Model (CRM).
Proses pengambilan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner kepada
masyarakat, ketua RT dan RW, wawancara kepada Pokdarwis dan Staff FPKBL,
observasi serta studi literatur. Hasil analisis menunjukkan bahwa skor kesiapan
masyarakat dalam program kampung iklim sebesar 4,11 dan masuk dalam tingkatan confirmation/expansion.
Sedangkan kesiapan pelaku industri batik sebesar 3,52 dan masuk dalam
tingkatan initiation. Sehingga kesiapan masyarakat ini dapat dijadikan
sebagai potensi untuk pengembangan kampung industri batik yang ramah
lingkungan, berketahanan serta mampu memberikan manfaat yang optimal di bidang
sosial, ekonomi serta lingkungan bagi masyarakat setempat.