Di era
digital, persepsi publik terhadap suatu organisasi atau lembaga sangat mudah
terbentuk dan berubah dengan cepat. Hal ini disebabkan oleh kemudahan akses
informasi dan penyebarannya melalui media sosial, berita online, dan platform
digital lainnya. Dalam lingkungan ini, informasi yang benar maupun salah dapat
dengan cepat menjadi viral, memengaruhi pandangan masyarakat dalam hitungan
menit atau jam. Dampaknya, reputasi organisasi dapat terpengaruh secara
signifikan, baik secara positif maupun negatif, tergantung pada bagaimana
informasi tersebut diinterpretasikan oleh publik. Komunikasi Krisis yang
dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) akibat beberapa isu yang
muncul pada bulan April-Mei 2024 seperti; 1). Kasus pengiriman barang berupa
sepatu, 2). Alat hibah untuk Sekolah Luar Biasa (SLB), dan 3). Barang kiriman produk
robot, turut melibatkan Perusahaan Jasa Titipan (PJT) sebagai perantara
pengiriman barang-barang tersebut. Krisis-krisis ini memicu sentimen negatif dari publik terhadap instansi
DJBC. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi
kasus dan teknik purposive sampling untuk mengumpulkan data melalui
wawancara, observasi, dan dokumentasi dengan 6 (enam) informan. Berdasarkan
Situational Crisis Communication Theory (SCCT), DJBC telah melalui fase pra
krisis, krisis, dan pasca krisis dengan menerapkan strategi komunikasi yang
meliputi deny strategy dengan elemen denial dan scapegoat,
diminish strategy melalui excuse selama masa krisis, serta rebuild
strategy melalui apology dan bolstering strategy melalui reminder
dan ingratiation pada masa pasca-krisis. Analisis terhadap tiga faktor
utama yang menentukan ancaman krisis terhadap organisasi Crisis
Responsibility, Crisis History, dan Prior Relational Reputation menunjukkan
bahwa DJBC menghadapi tantangan signifikan dalam manajemen komunikasi krisis nya
di era sekarang ini.