Supariadi, T151908003,
2023, Banyu Londo dalam Konteks Hidropolitik
Kolonial Belanda di Surakarta, Disertasi, Prof. Dr. Andrik Purwasita, DEA
(Promotor), Prof. Dr. Warto, M.Hum. (Ko-Promotor I), Dr. Titis Srimuda Pitana,
M. Trop. Arch. (Ko-Promotor II), Program Studi S3 Kajian Budaya Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta
RINGKASAN
Penelitian ini mendeskripsikan
implementasi hidropolitik kolonial dan pengaruhnya terhadap masyarakat pedesaan
di Surakarta. Hidropolitik kolonial mengacu pada kebijakan penggunaan air
berdasarkan ideologi politik kolonial. Imperialisme sebagai bentuk ideologi
politik kolonial dilihat dari perspektif ekonomi jelas merupakan perpanjangan
dari kapitalisme, sehingga air yang dalam pandangan tradisional dipandang sebagai
milik bersama kemudian berubah menjadi objek ekonomi karena dianggap sebagai
modal produksi. Perusahaan
perkebunan merupakan pelaku utama dalam eksploitasi air, tanah dan tenaga kerja di wilayah Surakarta.
Meluasnya sektor perkebunan merupakan cerminan adanya jaringan kuasa para
pemilik modal dengan penguasa kolonial. Perkebunan
merupakan alat ekonomi utama untuk menghasilkan keuntungan finansial. Sebaliknya bagi penduduk Hindia Belanda, ekonomi
perkebunan telah membawa pengaruh yang besar terhadap struktur sosial ekonomi
masyarakat. Pengaruh perkebunan ini disebabkan oleh sifat perkebunan itu
sendiri yang sangat eksploitatif
terhadap lahan pertanian, air dan tenaga kerja. Istilah menguasai tanah termasuk menguasai air merupakan slogan yang umum
pada masa itu. Dengan demikian para tuan kebun yang menyewa tanah otomatis
menyewa air juga. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu konflik air
di pedesaan, baik antar petani, antara pengusaha perkebunan dan petani, serta
antar pengusaha perkebunan sendiri. Bertolak dari latar belakang seperti ini,
mengarahkan rumusan masalah penelitian sebagai berikut, yaitu: (1) Bagaimana pola-pola
dan praktek hidropolitik kolonial Belanda di Surakarta? (2) Bagaimana respon dan
resistensi masyarakat Surakarta terhadap praktek hidropolitik kolonial? (3) Bagaimana
posisi dan kebijakan keraton Kasunanan Surakarta terhadap praktek hidropolitik
kolonial?
Penelitian ini
dilihat dari sumber data yang digunakan merupakan penelitian kepustakaan atau library research. Penelitian kepustakaan
dipandang pilihan tepat untuk menelusuri data sejarah masa lampau yang dijadikan sarana menyusun
argumentasi. Data
dikumpulkan dari sumber tertulis, terutama arsip, manuskrip, dan surat kabar
sejaman. Data yang telah terkumpul perlu diuji keabsahannya
sebelum digunakan untuk rekonstruksi peristiwa. Uji keabsahan data didasarkan
atas empat kriteria, yaitu derajad kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability),
ketergantungan (dependability), dan
kepastian (confirmability)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pelaksanaan hidropolitik kolonial merupakan implementasi
dari politik kolonial yang didasarkan pada ideologi kapitalisme imperialisme.
Awal hidropolitik kolonial dapat
ditelusuri dari masuknya modal swasta ke
pedesaan, khususnya munculnya perusahaan perkebunan. Hidropolitik kolonial di satu sisi memang berusaha
memodernisasi tata kelola air,
khususnya air irigasi.
Pembangunan sarana irigasi skala besar, pembuatan saluran distribusi berdasar
teknik hidrologis hingga penataan kelembagaan dan aturan yang lebih formal
merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari hidropolitik kolonial. Bahkan dalam kepemilikan tanah pertanian
juga terjadi penataan tanah yang memberikan hak milik kepada petani, karena
sebelumnya hak milik berada di tangan patuh
(bangsawan atau priyayi yang
memiliki hak apanage). Namun di sisi
lain, pelaksanaan hidropolitik kolonial juga menimbulkan kegoncangan di kalangan
masyarakat petani. Peraturan tata kelola air
kolonial yang berbeda dengan peraturan tata air tradisional dianggap merugikan lebih
banyak merugikan petani dan menguntungkan pengusaha perkebunan. Aturan yang mengharuskan
petani menggunakan air pada malam hari untuk tanaman padi dan siang hari
digunakan untuk kepentingan tanaman perkebunan merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan.
Petani juga tidak diperbolehkan merubah, memindahkan, dan merusak bangunan air
yang dibangun oleh pemerintah kolonial. Konsekuensinya mereka yang melakukan hal
tersebut
dapat ditangkap dan menjadi tersangka
perusakan fasilitas umum.
Kondisi seperti ini mendorong masyarakat petani untuk melakukan gerakan dan
protes menuntut agar pembagian air dilakukan secara adil.
Sikap yang berbeda
justru ditunjukkan oleh penguasa tradisonal di Surakarta. Sunan sebagai penguasa Kasunanan Surakarta
menerima kebijakan tata kelola air kolonial. Diterimanya hidropolitik
kolonial oleh sunan, di satu sisi merupakan bentuk kepatuhan
terhadap prinsip korkondansi di sisi lain juga menunjukkan semakin kuatnya hegemoni pemerintah
kolonial. Namun dalam kacamata pemerintahan tradisional, masuknya tata kelola
air kolonial ini merupakan bentuk kecerdasan dan wujud kebijakan akomodatif
Sunan. Tata kelola air kolonial yang berbasis hydro technic dan pengetahuan modern diterima dalam konteks fungsi
teknisnya. Konteks ini berimbas juga terhadap pembangunan
drainage dan sarana air minum (waterleideng) yang nantinya akan
mendorong munculnya istilah banyu londo,
sehingga wajah kota lebih tertata dan bersih. Munculnya
istilah banyu londo dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan simbolik
orang Jawa terhadap hidropolitik kolonial. Adapun konteks filosofis tata kelola air tetap
mempertahankan nilai tradisional Jawa berdasar pada tata kelola komunal, dengan
tetap dipertahankannya prinsip patirtan atau umbul untuk sarana ritual.
Kesimpulannya,
hidropolitik kolonial lahir dari ideologi politik kolonial yang didasarkan pada
kapitalisme imperialisme. Ideologi seperti ini mempertemukan dua kepentingan
antara penguasa kolonial dan pengusaha swasta, sehingga terjadi relasi kuasa
dalam eksploitasi pedesaan demi keuntungan penguasa dan
pengusaha. Situasi
seperti ini mendapat jawaban berbeda dari petani dan penguasa tradisional,
sehingga sering menimbulkan konflik dan resistensi.