;
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi representasi mitos shoujo atau gadis muda sebagai posthuman femme fatale melalui tokoh Tomie dalam anime Junji Ito Collection (2018) episode 9 dan episode 1-2 OVA. Anime tersebut merupakan hasil adaptasi dari manga horor karya Junji Ito dalam format antologi. Tomie adalah seorang gadis cantik penggoda yang senang menghancurkan karir pria dengan kemampuan bangkit dari kematian melalui kemampuan misterius berupa regenerasi super dan kreasi kloning. Penelitian ini berkontribusi dalam ranah kajian budaya melalui kajian kritis budaya populer untuk memahami dinamika representasi gender dan teknologi, serta menyoroti ketegangan antara narasi progresif dan nilai-nilai misoginis dalam konteks budaya Jepang.
Kisah Tomie bukan hanya menyinggung narasi posthuman, melainkan juga memantik perdebatan teknofeminis, serta turut berupaya melawan struktur narasi tradisional serta konvensi terkait stereotipe perempuan muda dalam budaya Jepang yang didasari oleh mitos shoujo. Dengan demikian, penelitian ini berfokus pada kajian terkait: 1) representasi mitos shoujo pada Tomie sebagai posthuman femme fatale yang turut mengarah pada diskusi teknofeminisme, 2) Tomie sebagai posthuman femme fatale yang menjadi sumber disrupsi dan melawan struktur narasi tradisional, serta 3) alasan penggambaran mitos shoujo sebagai femme fatale. Data dianalisis menggunakan metode analisis tekstual berdasarkan teori posthuman sebagai grand theory. Penelitian ini juga meminjam teori struktur naratif dari Todorov, konsepsi mitos Barthes, serta konsepsi femme fatale. Data diambil menggunakan teknik purposive sampling berupa sign serta potongan dialog yang menunjukkan penokohan Tomie, narasi kloning, serta mitos shoujo.
Hasilnya diketahui bahwa Tomie menunjukkan karakteristik femme fatale melalui sikap aktif dan manipulatif. Hal ini menunjukkan pertentangan terhadap mitos shoujo dengan karakteristik kawaii (lucu atau imut) yang menggambarkan sosok perempuan pasif, dependen, dan polos secara seksual. Tomie dengan kemampuan regenerasi super dan kreasi kloningnya juga turut menunjukkan subjektivitas posthuman yang diwujudkan melalui subjektivitas dependen-anti-esensialis, ambiguitas antara kehidupan/kematian, subjek/objek, pikiran/tubuh, dan moral baik/buruk. Di sisi lain, representasi kloning pada Tomie juga memancing kritik teknofeminis dengan mempertanyakan objektivitas terhadap penggunaan teknologi reproduksi bagi perempuan melalui kehadiran otoritas patriarkis yang masih kuat serta sebagai manifestasi rasa takut masyarakat Jepang akan pesatnya perkembangan teknologi. Tomie melalui kualitas posthuman femme fatale-nya juga turut berhasil mencegah terjadinya equilibrium kedua pada narasi, sehingga ending cerita dibiarkan dalam kondisi distopia sebagai wujud kemenangan ide posthuman.
Sementara itu, penggambaran mitos shoujo sebagai femme fatale pada Tomie dilatarbelakangi oleh masih kuatnya sentimen misoginis dalam budaya Jepang. Hal tersebut juga didukung oleh penerapan ajaran Buddha dan Shinto yang menganggap tubuh dan seksualitas perempuan sebagai sumber gangguan serta polusi (kegare), sehingga menyulitkan untuk mencapai pencerahan. Pada akhirnya, Tomie sebagai femme fatale secara paradoks kembali menguatkan pandangan misoginis masyarakat Jepang terhadap seksualitas perempuan sebagai sumber ancaman.