Abstrak


Rekonstruksi Kebijakan Sanksi Pidana Perusakan Hutan Berbasis Keadilan Ekologi


Oleh :
Atikah Mardhiya Rohmy - T312202005 - Fak. Hukum

ABSTRAK

Atikah Mardhiya Rohmy T312202005 “Rekonstruksi Kebijakan Sanksi Pidana Perusakan Hutan Berbasis Keadilan Ekologi”. Promotor: Hartiwiningsih, Ko-Promotor: I.G.K Ayu Rachmi Handayani. Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2024.

Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi model pengaturan sanksi pidana pokok perusakan hutan berbasis keadilan ekologi. Penelitian ini menggunakan metode normatif empiris dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, kasus, komparatif dan filosofis. Bahan hukum dianalisis secara kualitatif dengan teknik analisis secara evaluatif, diagnostik dan preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kebijakan sanksi pidana perusakan hutan, belum sesuai dengan keadilan ekologi, disebabkan; (a) Terjadi ketidaksesuaian dengan tujuan dan hakikat sanksi pidana yang hendak dicapai; (b) Kebijakan sanksi yang baru menciptakan efek kejut, belum menciptakan efek jera dan belum menyentuh aspek restorative; (c) Partisipasi Masyarakat masih dalam tahap semu/tokenism. (2) Faktor-faktor penghambat, diantaranya: (a) Kondisi existing implementasi penegakan hukum pidana yang belum berbasis keadilan ekologi; (i) Substansi hukum, terdapat pertentangan norma; (ii) Aparat penegak hukum, masih mewarisi kultur lama, lebih mengutamakan menjatuhkan pidana penjara pada pelaku, terbukti tidak efektif dalam menanggulangi kejahatan; (iii) Sarana dan prasarana, kurang menyesuaikan perkembangan teknologi terutama prosedur pembuktian ilmiah serta belum terwujudnya keterpaduan antara kelembagaan aparat penegak hukum; (iv) Masyarakat, belum adanya keterbukaan informasi dan transparansi; (v) Budaya, paradigma pengelolaan hutan yang masih antroposentrisme. (b) Proses formulasi dalam pembentukan kebijakan sanksi pidana perusakan hutan; (i) Adanya tekanan dan intervensi kekuasaan dan politik dari berbagai pihak yang dioperasionalkan usaha besar (oligarki); (ii) Sumber daya manusia yang rendah. (3) Rekonstruksi model pengaturan sanksi pidana pokok perusakan hutan berbasis keadilan ekologi, dengan menggunakan pendekatan ekologi (distributive justice, recognition, participation, capabilities) dan sistem pemidanaan yang mengedepankan keadilan korektif, restoratif, serta rehabilitatif, dengan cara; (a) Memasukkan tiga jenis subjek hukum; manusia, selain manusia (biotik) dan non-living entities (abiotik) ke dalam UU di bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup; (b) Menjadikan tindakan pemulihan lingkungan sebagai instrumen pemaksa yang utama (sanksi pidana pokok) selain denda, perampasan aset (korporasi) dan penjara (apabila menimbulkan korban jiwa); (c) Mekanisme pemulihan lingkungan hidup, perlu dibentuk suatu lembaga yang bertindak sebagai Trustee Independen; (d) Mengintegrasikan serta melestarikan perspektif kearifan lokal dengan cara Traditional Ecological Knowledge (TEK), mengacu pada kearifan lokal masyarakat hukum adat setempat yang terhubung dengan lanskap serta menjadikan Pancasila sebagai landasan etika, pengembangan sains kehutanan dan lingkungan hidup.