Perubahan iklim global menjadi salah satu tantangan terbesar abad ke-21, dengan dampak signifikan berupa kenaikan suhu global, pencairan es di kutub, dan kenaikan permukaan laut. Kota Semarang sebagai wilayah pesisir di Indonesia menghadapi ancaman ganda berupa kenaikan permukaan air laut sebesar 6 mm per tahun dan penurunan tanah hingga 9 cm per tahun. Dampak ini mengakibatkan banjir rutin yang mengganggu aktivitas masyarakat, infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi kota. Solusi konvensional seperti sistem polder dan drainase kota telah diterapkan, namun terbukti memiliki keterbatasan dalam menghadapi tantangan jangka panjang. Sebagai alternatif, konsep Floating City menawarkan solusi adaptif dan inovatif melalui pembangunan ruang multifungsi berbasis platform terapung yang tahan terhadap perubahan lingkungan. Teknologi ini memungkinkan pengintegrasian hunian, area hijau, dan fasilitas publik dengan pendekatan self-sufficiency, mencakup energi terbarukan, pengelolaan air bersih, dan produksi pangan lokal. Pengalaman negara maju, seperti Belanda dan Jepang, menunjukkan efektivitas Floating City dalam mengurangi dampak banjir sekaligus meningkatkan keberlanjutan dan ketahanan masyarakat. Namun, penerapan konsep ini di Semarang menghadapi tantangan penerimaan sosial yang rendah, terutama di wilayah rentan seperti Kemijen. Edukasi publik dan proyek percontohan diperlukan untuk memperkenalkan manfaat Floating City. Dengan desain yang terintegrasi dan berbasis keberlanjutan, Floating City dapat menjadi solusi inovatif yang tidak hanya relevan untuk Semarang tetapi juga dapat direplikasi untuk kota pesisir lainnya, menjawab kebutuhan adaptasi perubahan iklim sekaligus menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan.