Mencermati Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang tergolong dalam produk hukum nomokrasi, masih menyisakan persoalan yang serius untuk diulas. Ketiga regulasi terkait keadilan restoratif yang digadang gadang sebagai instrumen transformasi menuju sistem penegakan hukum pidana yang lebih manusiawi, ternyata perlu ditinjau kembali secara menyeluruh terkait aspek definisi, asas, syarat, pengecualian tindak pidana, dan pengulangan tindak pidana. Pasalnya pencermatan mendalam terhadap ketiga regulasi tersebut tidak ditemukan adanya sinkronisasi terkait pengaturan keadilan restoratif. Persoalan tersebut dianalisis dalam penelitian normatif dengan menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pendekatan konseptual difokuskan pada telaah konsep restorative justice dalam masing-masing produk hukum yang diteliti dengan silogisme deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1). Konsep restorative justice pada Perpol No. 8/2021, Perja No. 15/2020, dan Perma No. 1/2024 meskipun mencerminkan transformasi dalam penegakan hukum, namun masih menghadapi sejumlah keterbatasan konseptual. Persoalan utama meliputi, definisi dan pemahaman keadilan restoratif yang cenderung disederhanakan, peran kepolisian yang sebatas administratif, inkonsistensi pelibatan pihak terkait, dan kejelasan terkait konteks "sebelum persidangan”. 2) Konsep restorative justice dalam Perpol No. 8/2021, Perja No. 15/2020, dan Perma No. 1/2024 tidak mengalami sinkronisasi. Ketidaksinkronan tersebut tercermat, mulai dari definisi keadilan restoratif, definisi korban, asas yang digunakan, syarat perkara yang dapat diselesaikan melalui keadilan restoratif, pengecualian tindak pidana, hingga pengaturan terkait pengulangan tindak pidana.