Peningkatan industri mendorong permintaan listrik yang masih bergantung pada energi fosil, meningkatkan emisi karbon dan tekanan sumber daya. Di sisi lain, energi terbarukan seperti listrik hijau menjadi solusi untuk mengurangi emisi karbon. Namun, implementasinya menghadapi tantangan besar, salah satunya adalah tingginya tarif listrik dari energi terbarukan dibandingkan dengan listrik berbasis fosil. Penelitian ini difokuskan pada Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang menjadi salah satu proyek strategis pemerintah dalam bidang Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan lokasi penelitian di Kelurahan Mojosongo dan Kelurahan Laweyan. Pendekatan yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif menggunakan Contingent Valuation Method (CVM), serta data dianalisis menggunakan regresi logistik biner dan regresi logistik berganda. Penelitian ini menggunakan 202 responden yang berdomisili di Mojosongo dan Laweyan dengan hasil rata-rata wtp adalah sebesar Rp40,179 dan mayoritas merupakan laki- laki dengan usia pada kisaran 25 - 40 tahun. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara sebanyak 118 responden mengetahui adanya PLTSa dan sisanya sebanyak 84 responden tidak mengetahui PLTSa. Hasil regresi menunjukkan bahwa usia, jenis kelamin, dan pendidikan tidak signifikan, sementara pendapatan signifikan pada logit tetapi tidak pada regresi linear berganda, dan pengetahuan signifikan pada kedua model. Temuan ini memberikan rekomendasi bagi pemerintah dalam menetapkan tarif listrik hijau yang lebih sesuai, mendukung transisi energi berkelanjutan.