Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan:(1)
Hal-hal yang melatarbelakangi penyensoran film pada masa Orde Baru (2) Penerapan sensor film pada masa Orde Baru
(3) Politik
pemerintah dalam
penyensoran film pada masa Orde Baru
(4) Dampak yang dihasilkan penyensoran film terhadap dunia perfilman Indonesia
pada masa Orde Baru..
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode historis dengan menggunakan langkah-langkah heuristik, kritik,
interpretasi, dan historiografi. Sumber data yang digunakan adalah arsip
Departemen Penerangan mengenai prosedur impor film, dokumen bukti lolos sensor,
Majalah Film edisi tahun 1989-1998,
dan buku terbitan Tokoh-tokoh perfilman nasional seperti Usmar Ismail dan Salim
Said. Teknik pengumpulan data menggunakan studi Pustaka buku karangan Salim
Said dan Usmar Ismail sebagai pengantar, dan buku dari Nunus Supardi yang
berisi tentang politik penyensoran tahun 1916-2016, studi dokumen Surat Tanda
Lulus Sensor oleh Badan Sensor Film, media promosi film, majalah film, dan
surat tugas Menkohubra mengenai prosedur Impor film, wawancara dengan Ari
Arembono sebagai penyedia sumber penelitian. Teknik analisis data menggunakan
analisis historis dengan mengklarifikasi data-data dan mengelompokkannya
menjadi dua jenis yaitu primer dan sekunder, kemudian dibandingkan dengan
beberapa sumber yang ada. Interpretasi menafsirkan sumber-sumber dari Majalah
Film untuk dianalisa dan dihubungkan dengan beberapa sumber lain seperti
beberapa jurnal dan sumber primer. Historiografi menuliskan secara kronologis peran
pemerintah dalam kegiatan penyensoran film di Indonesia pada era Orde Baru.
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa: (1) Keberadaan Komisi Penyensoran Film (KPF) menjadi cikal bakal penyensoran film di Indonesia. Penyelenggaraan penyensoran film di Indonesia berawal dari beberapa film yang dikecam masyarakat seperti contoh Darah dan Doa (1950) dan film bergenre cowboy yang mengandung banyak kekerasan, dan hadirnya film impor yang menampilkan ideologi komunisme. Maka disusunlah pedoman penyensoran film oleh Lembaga Kebudayaan Indonesia tahun 1951 yang digunakan saat Orde Baru. (2) Penyensoran film dilakukan atas dasar peraturan PP No. 7 Tahun 1974. Penyensoran terhadap film pra-edar dilakukan oleh lembaga sensor seperti Badan Sensor Film (BSF) dan Lembaga Sensor Film (LSF). Tata cara penyensoran terdapat dua cara yaitu memotong reels jika terdapat adegan singkat yang tidak sesuai pedoman penyensoran; dan pelarangan izin tayang secara temporer jika materi film masih dapat direvisi oleh rumah produksi; atau permanen jika rumah produksi gagal dalam merevisi filmnya. (3) Film diawasi oleh pemerintah di bawah pengawasan BSF dan LSF, ditemukan kecacatan dalam birokrasinya yaitu pemerintah pusat memilih orang-orang diluar kompetensinya dalam bidang film untuk menyensor film, longgarnya politik impor film oleh pemerintah membuat tayangan film menjadi beraneka ragam dan tidak terkendali, dan terdapat mafia dibalik lembaga sensor yaitu dengan melakukan politik uang agar film yang tidak sesuai pedoman dapat lolos sensor. (4) Dampak politik penyensoran film masa era Orde Baru pada dunia film Indonesia adalah tingginya jumlah film seks yang menimbulkan kecaman dari masyarakat dan insan perfilman; jumlah film impor yang mengalahkan jumlah film nasional karena efek dari kebijakan lembaga sensor yang kurang tegas dan memonopoli impor film oleh pemerintah.