Kasus kekerasan fisik yang melibatkan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) tidak hanya berdampak pada mereka secara hukum, tetapi juga memengaruhi aspek psikologis dan sosialnya secara kompleks. Dalam proses rehabilitasi sosial, asesmen menjadi tahap krusial untuk memahami kondisi ABH serta faktor-faktor yang memengaruhi keterlibatan mereka dalam tindak kekerasan. Namun, komunikasi interpersonal antara pendamping dan ABH tak jarang menghadapi hambatan, baik dari sisi keterbukaan ABH maupun pengaruh orang tua. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses komunikasi interpersonal sekaligus mengidentifikasi hambatan dalam tahap asesmen yang ditujukan untuk mendukung perubahan perilaku ABH.
Penelitian ini mengkaji proses komunikasi
interpersonal dalam asesmen rehabilitasi sosial dengan menyoroti dinamika
keterbukaan antara pendamping dan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Untuk
menganalisis proses tersebut, penelitian ini menggunakan teori penetrasi sosial,
yang menjelaskan mengenai keterbukaan individu berkembang secara bertahap
melalui interaksi interpersonal. Pendamping rehabilitasi sosial berperan dalam
membangun kepercayaan dan mendorong keterbukaan ABH dengan menyesuaikan proses
komunikasi mereka sesuai dengan tahapan interaksi, yang di mulai dari
komunikasi yang bersifat formal dan terbatas hingga kemudian mencapai kedalaman
emosional yang lebih tinggi.
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subjek penelitian yang dilibatkan
diantaranya meliputi tiga pendamping rehabilitasi sosial dan empat ABH yang
terdiri dari tiga orang anak saksi dan satu orang anak korban. Data-data yang
dibutuhkan dikumpulkan melalui observasi partisipasif, wawancara semi
terstruktur, dan dokumentasi. Kemudian data yang diperoleh dianalisis
menggunakan model Miles dan Huberman. Sementara untuk memastikan validitas
data, penelitian ini menggunakan triangulasi sumber.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendamping
rehabilitasi sosial memiliki peran krusial dalam membangun komunikasi
interpersonal secara bertahap pada saat asesmen yang dapat mendukung
keterbukaan ABH. Suasana informal yang dibangun membantu menggali informasi
lebih dalam, namun hambatan kerangka berpikir, hambatan psikologis, dan kesulitan
dalam manajemen waktu berpengaruh dalam proses asesmen. Melalui komunikasi yang
efektif, pendamping tidak hanya dapat menggali informasi tetapi juga membangun
kepercayaan dan memberi dukungan psikologis bagi ABH, sehingga asesmen dapat
berkontribusi pada proses rehabilitasi sosial secara menyeluruh.