Penelitian ini membahas perilaku konsumtif dalam komunitas fotografi
analog di Surakarta dari perspektif sosiologis, dengan menggunakan teori dari Jean
Baudrillard. Di era digital yang serba instan, komunitas fotografi analog
menunjukkan pola konsumsi yang menarik, di mana penggunaan kamera analog
tidak sekadar memenuhi kebutuhan praktis, tetapi juga menjadi sarana untuk
mengekspresikan identitas, nilai sosial, dan pencarian pengalaman yang lebih
autentik. Kamera analog, yang membutuhkan proses kreatif lebih lambat dan penuh
perhitungan, memberikan alternatif unik dibandingkan dengan teknologi digital,
sehingga para penggunanya dapat terhubung dengan nilai sejarah, kreativitas, dan
kedekatan emosional. Penelitian ini juga mengkaji peran sistem objek, seperti
kamera analog dan peralatan pendukungnya, dalam membentuk perilaku konsumtif
anggota komunitas. Sistem objek tersebut berfungsi sebagai simbol status dan
identitas yang mempererat solidaritas di antara anggota komunitas. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, yang berfokus
pada perilaku konsumtif anggota komunitas Selenoid dalam penggunaan kamera
analog sebagai objek konsumsi budaya. Teknik pengambilan sampel menggunakan
metode Non-Probability Sampling dengan pendekatan Purposive Sampling.
Adapun kriteria informan yang diteliti adalah adalah sebagai berikut, anggota aktif
komunitas Selenoid di Surakarta, pengguna kamera analog secara rutin dalam
kegiatan fotografi, dan memiliki pengalaman pribadi terkait pembelian,
penggunaan, atau pengoleksian kamera analog dan perlengkapannya. Pengumpulan
data dilakukan dengan metode observasi dan wawancara mendalam. Penelitian ini
menggunakan triangulasi sumber sebagai validitas data. Teknis analisis data
dilakukan dengan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan perilaku konsumtif dalam komunitas
fotografi analog di Surakarta tidak hanya bertujuan fungsional, tetapi juga simbolik
dan emosional. Kamera analog dan peralatan pendukungnya digunakan sebagai
simbol identitas, outentisitas, dan status sosial di dalam komunitas. Berdasarkan
teori Baudrillard, objek-objek ini menciptakan simulacra, di mana nilai simbolik
dan pengalaman otentik menjadi lebih penting daripada fungsi teknisnya. Dengan
demikian, konsumsi dalam komunitas ini memperkuat identitas pribadi,
membangun solidaritas, dan menjadi respons terhadap budaya digital yang serba
instan.