Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implikasi hukum perceraian kawin siri terhadap status dan hak nafkah anak berdasarkan Hukum Islam dan Hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam perkara ini, pekerjaan istri siri kontroversial dan suami masih terikat perkawinan sah dengan wanita lain. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang dan kasus. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Teknik yang dipakai dalam pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, serta menggunakan teknik analisis metode deduksi silogisme. Hasil penelitian pada Putusan Nomor 546/Pdt.G/2024/PA.Krw menunjukkan bahwa anak dalam putusan ini dapat diakui secara hukum sebagai anak biologis Tergugat (ayah biologis anak/ suami siri Penggugat) berdasarkan alat bukti yang diajukan. Merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010, anak memiliki hubungan keperdataan dengan Tergugat. Namun, karena perkawinan orang tuanya tidak sah, anak dianggap sebagai anak biologis bukan anak sah. Selain itu, perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tidak sah karena bertentangan dengan Pasal 57 KHI dan Fatwa MUI Nomor 10 tahun 2008 tentang Nikah di Bawah Tangan. Terkait hak nafkah dalam Putusan Nomor 546/Pdt.G/2024/PA.Krw, anak berhak mendapatkan nafkah dari Tergugat (ayah biologis anak/ suami siri Penggugat) dan apabila Tergugat tidak memberi nafkah, dapat dilakukan eksekusi terhadap harta Tergugat. Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012, anak berhak atas wasiat wajibah sebesar 1/3 dari total harta Tergugat. Namun, untuk anak luar kawin yang beragama non-Islam akan mendapat kesulitan dalam pengklaiman hak waris karena harus mengikuti proses pewarisan secara hukum perdata.