Penelitian mengenai asset recovery dalam tindak pidana korupsi telah banyak dilakukan, akan tetapi mengenai langkah kritis peran central authority masih menyisakan permasalahan. Tujuan dalam penulisan ini untuk mengkaji peran Kejaksaan sebagai central authority dalam menanggulangi tindak pidana korupsi dan bentuk mekanisme optimasi asset recovery dalam tindak pidana korupsi melalui peran central authority pada Kejaksaan sebagai bagian dari integrated criminal justice system. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, melalui pendekatan undang-undang dan konseptual, dengan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berkenaan dengan peran central authority yang selanjutnya analisis dengan teknik analisis silogisme deduktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Peran Kejaksaan sebagai central authority secara yuridis berdasarkan Pasal 33 Undang-undang Kejaksaan dalam menjalin kerjasama dengan negara lain atau dalam lingkup internasional. Sebagai bagian dari integrated criminal justice system yang memenuhi aspek formil maupun materiil menempatkan Kejaksaan sebagai best practices dalam central authority berdasarkan asas dominus litis, asas oportunitas dan prinsip single prosecution system (2) Bentuk mekanisme optimasi asset recovery dalam tindak pidana korupsi dapat diwujudkan melalui penguatan peran central authority berbasis mutual legal assistance dan ekstradisi. Dalam asset recovery dapat ditempuh melalui jalur pidana dan perdata, sesuai Undang-undang MLA, perampasan aset dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan. Sehingga Kejaksaan sebagai central authority menjadikan sistem asset recovery yang terintegrasi dalam satu pintu untuk memudahkan proses birokrasi dan pengumpulan alat bukti maupun eksekusi terhadap aset yang berada di luar negeri melalui penerapan prinsip follow the money dan crime control model dalam rangka mengamankan aset negara.