Kasus hukum yang melibatkan Amaq Sinta dalam
peristiwa pembelaan diri terhadap aksi begal di NTB menimbulkan perdebatan
terkait batasan pembelaan terpaksa (noodweer) dan pertanggungjawaban pidana
atas penggunaan senjata tajam. Secara hukum, tindakan bela diri diatur dalam
Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang memberikan pengecualian
terhadap pertanggungjawaban pidana jika seseorang bertindak dalam keadaan
terpaksa untuk melindungi diri dari ancaman yang nyata dan seketika. Namun,
permasalahan muncul ketika unsur-unsur pembelaan terpaksa harus diuji dengan
ketat, terutama dalam aspek proporsionalitas dan alasan yang sah menurut hukum.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan Pendekatan
perundang-undangan.. Bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer dan
sekunder, yang dianalisis menggunakan metode deduktif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa meskipun Amaq Sinta bertindak untuk membela diri dari ancaman
nyata, terdapat perdebatan mengenai apakah tindakannya telah memenuhi seluruh
unsur pembelaan terpaksa. Salah satu poin utama yang menjadi sorotan adalah
aspek proporsionalitas dalam penggunaan kekerasan terhadap pelaku kejahatan.
Selain itu, penggunaan senjata tajam dalam situasi ini menimbulkan dilema
hukum, karena meskipun digunakan untuk melindungi diri, perbuatan tersebut
tetap berpotensi melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun
1951. Keputusan kepolisian untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) dalam kasus ini juga memicu diskusi mengenai fleksibilitas
hukum dalam menyesuaikan aturan normatif dengan kondisi faktual di lapangan.