;
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait respon yang dilakukan oleh Divisi Humas Polri dalam menangani kasus penembakan Brigadir J yang dilakukan oleh mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo. Dilatar belakangi oleh krisis yang dihadapi oleh Polri terkait adanya penurunan kepercayaan publik terhadap kinerja Polri. Menurut Survei Nasional Indikator tentang “Persepsi Publik terhadap kasus Sambo” kepercayaan publik turun ke level 54,4% pada Agustus 2022 dibandingkan bulan April 2022 masih pada level 71,6%. Tingkat kepercayaan Polri ini juga merupakan paling rendah dibandingkan dengan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum lainnya. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif analisis isi (content analyisis) yang berfokus pada akun Instagram Divisi Humas Polri @divisihumaspolri yang dinilai cukup aktif dan aktual dalam menyampaikan informasi perkembangan penanganan kasus Ferdy Sambo. Sedangkan secara spesifik data dikumpulkan melalui observasi dan pengamatan representasi visual dan teks (caption) saat masa krisis kasus Ferdy Sambo terjadi hingga kasus dilimpahkan kepihak Kejaksaan Agung Jakarta Selatan, yakni pada bulan Juli 2022 – Oktober 2022. Pendekatan teori dalam penelitian ini menggunakan teori Situational Crisis Communication Theory (SCCT) by Timothy W.Coombs Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa, dalam penanganan krisis Ferdy Sambo oleh Polri ditinjau dari akun Insagram @divisihumaspolri masuk dalam dalam kategori Preventable Crisis, dimana Polri dipandang bertanggung jawab penuh atas tindakan FS. Konsep Crisis Management Team (CMT) dalam pembentukan Timsus merupakan salah satu strategi awal dalam mencerminkan keseriusan institusi dalam penanganan krisis kasus ini. Dalam penanganannya Polri termasuk cukup tanggap dan cepat memberikan respon (responding quicly), konsisten (consistency) dalam penyampaian pesan dan (openness) dalam memberikan informasi. Strategi komunikasi yang diterapkan oleh Divisi Humas Polri menghadapi krisis didominasi oleh Strategi Rebuild (53%), diikuti oleh Strategi Reinforcing (31%), sementara Strategi Diminish dan Deny hanya digunakan secara terbatas (masing-masing 6%). Strategi Rebuild menjadi pilihan utama dengan langkah-langkah konkret seperti penonaktifan pejabat yang terlibat, pelaksanaan autopsi ulang yang diawasi pihak eksternal, serta keterbukaan terhadap investigasi berbasis keilmuan. Pendekatan ini sesuai dengan teori Situational Crisis Communication Theory (SCCT), yang merekomendasikan transparansi dan akuntabilitas dalam krisis yang bersifat preventable.