Abstrak


Tindakan Komunikatif di BALEG DPR RI terkait Dinamika Pengambilan Keputusan dan Penetapan Revisi Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)


Oleh :
Dinda Andira - D0321031 - Fak. ISIP

Proses pengesahan Undang-Undang mengalami berbagai tahapan sebelum menjadi pedoman hidup masyarakat. BALEG DPR RI menjadi ruang bagi aktor politik untuk melakukan tahapan pengesahan Undang-Undang yang dibantu oleh aktor lainnya seperti Tenaga Ahli, Staff Ahli, Sekretariat BALEG, Kementerian, DPD, Media dan Tokoh Masyarakat yang memiliki tugas dan fungsinya masing-masing dimana akan menciptakan adanya Tindakan Komunikatif. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki tujuan untuk menggambarkan praktik serta faktor pendorong dan penghambat tindakan komunikatif di BALEG DPR RI terkait dinamika Pengambilan Keputusan dan Penetapan Revisi Undang - Undang No 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan menggunakan teori tindakan komunikatif Jurgen Habermas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus tunggal. Teknik pengumpulan data diperoleh dengan wawancara, observasi, studi pustaka, dan dokumentasi. Teknik pemilihan informan menggunakan teknik purposive. Validitas menggunakan teknik triangulasi sumber dan analisis data menggunakan analisis model pola penjodohan. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh aktor politik tidak mencerminkan adanya tindakan komunikatif. Aktor politik yang bertugas sebagai perwakilan rakyat, justru bertindak mementingkan kepentingan partai politik. Selain itu, negara tidak memberi ruang pada publik dan menghambat partisipasi publik sehingga menciptakan penolakan dari masyarakat melalui demonstrasi dan unggahan postingan Garuda Biru serta penggunaan tagar #PeringatanDarurat di media sosial. Faktor pendorong tindakan komunikatif, antara lain kebijakan partai politik, transparansi proses legislasi, asas demokrasi yang terbuka, ruang virtual sebagai ruang diskusi wacana, konferensi pers sebagai jembatan informasi publik, koalisi sebagai poros dukungan, keberadaan tenaga ahli mendukung proses legislasi, skema kemitraan mempercepat proses legislasi, urgensi pada poin UU Pilkada memantik munculnya tindakan komunikatif dan bahasa yang digunakan pada rumusan teks RUU menggunakan legal formil. Faktor penghambat, antara lain terjadi bias kepentingan, media rentan memproduksi hoaks terkait wacana legislasi, demonstrasi sebagai reaksi demokrasi, dominasi wacana ruang virtual sebagai realitas baru, gestur aktor politik pada konferensi pers memantik reaksi publik, koalisi sebagai pendikotomian kepentingan, tenaga ahli mendikte aktor politik, kemitraan memunculkan kepentingan baru, animo masyarakat terhadap wacana revisi UU Pilkada, dan bahasa yang disampaikan pada teks tidak memunculkan tindakan komunikatif.