;
Proses adaptasi menjadi suatu hal alamiah yang harus dilalui oleh setiap
makhluk sosial dalam berinteraksi, agar dapat diterima di lingkungan masyakat,
serta menghindari kesalahan dalam berkomunikasi. Masalah komunikasi seringkali
dirasakan oleh kelompok-kelompok kelompok marjinal, terutama kelompok-kelompok marjinal transgender. Hal ini terjadi karena
adanya ketidaksetaraan
kekuasaan lapisan sosial. Transgender di Indonesia mengalami peningkatan
jumlah populasi pada setiap tahunnya. Tercatat populasi transgender di
Indonesia telah menempati angka ke-11 terbesar di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
faktor pendorong dan strategi komunikasi yang digunakan oleh kelompok-kelompok
marjinal transgender dalam melakukan adaptasi di lingkungannya. Penelitian ini
menggunakan teori co-cultural communication oleh Mark Orbe, yang dapat membantu untuk memahami bagaimana kelompok-kelompok
marjinal bertahan dengan melakukan adaptasi atau bernegosiasi dengan masyarakat
dominan. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian
kualitatif dengan metode studi kasus deskriptif. Penelitian dilakukan pada
komunitas Transmen Indonesia yang merupakan komunitas transgender pertama dan
terbesar se-Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat
4 faktor pendorong sehingga kelompok transgender melakukan upaya untuk
melakukan komunikasi. Hal ini terkandung didalam lapisan teori komunikasi antar
budaya (Intercultural Communication Theory), diantaranya yaitu: faktor Field of experience pada ruang publik, ability
didalam dunia pekerjaan, situational context di bidang kesehatan, dan perceived
cost and rewards pada lingkungan keluarga dan masyarakat. Kelompok
transgender memiliki tujuan accommodation dalam proses adaptasinya, hal ini
diterapkan dengan menggunakan cara non assertive pada saat berinteraksi.
Penggunaan strategi non-assertive accommodation dapat membuat kelompok-kelompok
marjinal transgender melakukan adaptasi di lingkungan masyarakat.