;
Sebanyak 85?ri masyarakat Gili Ketapang berprofesi sebagai nelayan. Namun, daerah ini juga potensial untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata karena mempunyai daya tarik berupa keindangan laut dan terumbu karang yang beragam. Peluang tersebut dimanfaatkan baik dengan membuka wisata snorkeling berkat inisiatif masyarakat setempat yang tergabung dalam Paguyuban Pengelola Wisata Gili Ketapang. Dengan adanya wisata snorkeling, dapat memberikan nafas baru bagi aktivitas ekonomi di Gili Ketapang. Kehadiran obyek wisata snorkeling ini telah mengakibatkan perubahan dalam mata pencaharian masyarakat lokal di Pulau Gili Ketapang. Sebagian dari Masyarakat Gili Ketapang tidak lagi bergantung pada hasil laut dan beralih ke sektor pariwisata. Meskipun memiliki potensi besar dalam meningkatkan pendapatan masyarakat lokal dan menyediakan lapangan kerja, perkembangan pariwisata di Gili Ketapang tidak terlepas dari konflik yang muncul di tengah kompleksitas interaksi antara pengelola wisata dan komunitas lokal yang sangat menghargai nilai-nilai sosial dan keagamaan. Masyarakat setempat menilai bahwa keberadaan wisata snorkeling dianggap mengakibatkan gangguan terhadap keseharian dan mata pencaharian tradisional masyarakat nelayan. Oleh sebab itu terjadi dialektika antara pengelola wisata dan masyarakat Gili Ketapang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dialektika relasional dalam pengelolaan pariwisata Desa Wisata Gili Ketapang, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo menggunakan teori dialektika relasional yang dikembangkan oleh Leslie Baxter dan Barbara Montgomery. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik dipicu oleh benturan antara modernisasi pariwisata yang digagas pengelola wisata, seperti pembangunan fasilitas wisata dan diversifikasi layanan, dengan tradisi lokal yang menekankan pelestarian nilai nilai Islami dan budaya masyarakat pantai. Dialektika relasional yang dominan mencakup tiga aspek utama: (1) Integrasi dan Separasi, dimana terdapat ketegangan antara kebutuhan masyarakat untuk tetap menjadi bagian dari pariwisata dan keinginan untuk menjaga identitas lokal; (2) Stabilitas dan Perubahan, yang mencerminkan konflik antara kebutuhan untuk mempertahankan tradisi dan antusiasme terhadap inovasi wisata; serta (3) Keterbukaan dan Proteksi, yaitu dilema antara berbagi pengalaman dengan wisatawan dan menjaga informasi atau ritual budaya tertentu dari pengaruh eksternal. Proses dialog yang diterapkan dalam menyelesaikan konflik mencakup pendekatan partisipatif dan inklusif yang melibatkan masyarakat lokal, pengelola wisata, dan pemerintah daerah. Melalui komunikasi dialogis, diupayakan pemahaman bersama atas perbedaan nilai dan kepentingan untuk menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan. Pendekatan ini menekankan pentingnya mendengarkan berbagai perspektif, menghormati tradisi lokal, serta mengakomodasi inovasi wisata yang sesuai dengan norma masyarakat.