Abstrak


Penghindaran Stigma dalam Proses Diversi Sebagai Implementasi Keadilan Restoratif bagi Anak Berkonflik dengan Hukum (Studi pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Klaten)


Oleh :
Arsyad Ardza Taufiqurrahman - D0321020 - Fak. ISIP

Perlindungan anak, mencakup pemenuhan hak dasar dan lingkungan yang aman, sangat penting bagi pembangunan masyarakat berkelanjutan. Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) tetap memiliki hak atas perlakuan yang adil serta perlindungan khusus. UU Nomor 11 Tahun 2012 mengatur penyelesaian kasus anak melalui diversi, yaitu proses di luar peradilan dengan pendekatan keadilan restoratif. Hal tersebut penting untuk mencegah pengulangan tindak pidana dan memberikan hasil yang lebih positif bagi ABH. Namun, di sisi lain masyarakat cenderung memberikan stigma kepada ABH yang dapat menghambat proses reintegrasi mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan proses diversi di Balai Pemasyarakatan Kelas II Klaten untuk menghindarikan stigma negatif terhadap ABH. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus serta menggunakan teori strukturasi sebagai pisau analisisnya. Data diperoleh melalui hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan informan yang dipilih secara purposive sampling meliputi Anak Berkonflik dengan Hukum, orang tua/ wali, Kasubsi Bimbingan Klien Anak, danĀ  Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Klaten, serta masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) sering mendapat stigma negatif dari masyarakat sebagai seorang kriminal. Dalam hal ini, diversi sebagai jalan keluar terbaik karena tidak hanya membantu melindungi anak dari dampak negatif sistem peradilan pidana, tetapi juga meminimalkan paparan stigma negtaif dari masyarakat dengan berfokus pada keadilan restoratif. Proses diversi dilaksanakan melalui tiga tahapan yaitu pra-adjudikasi, adjudikasi, dan pasca-adjudikasi yang melibatkan kerja sama berbagai pihak. Salah satunya peran Balai Pemasyarakatan Kelas II Klaten selaku fasilitator yang berperan tidak hanya menjalankan diversi tetapi juga juga membangun kesadaran kolektif di masyarakat bahwa ABH perlu dibina, bukan dihukum. Ini menandai pergeseran dari keadilan retributif menuju keadilan restoratif. Oleh karena itu, tidak hanya diperlukan optimalisasi peran Balai Pemasyarakatan Kelas II Klaten sebagai fasilitator, tetapi juga peran masyarakat untuk mendukung Anak Berkonflik dengan Hukum berintegrasi kembali di lingkungan sosialnya.