Kasus Churchill Mining Plc.
melawan Pemerintah Indonesia di hadapan International Centre for Settlement of
Investment Disputes (ICSID) menjadi titik krusial dalam dinamika hukum
investasi asing, khususnya di sektor pertambangan Indonesia. Sengketa ini
berawal dari pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat entitas lokal mitra
Churchill yang ternyata diperoleh berdasarkan 34 dokumen yang kemudian
terbukti palsu. Meski Indonesia dinyatakan menang karena Churchill
dianggap gagal menjalankan prinsip due diligence dan tidak memiliki legalitas
investasi yang sah, perkara ini membuka persoalan lebih dalam mengenai lemahnya
pengawasan terhadap Penanaman Modal Asing (PMA), buruknya tata kelola perizinan
di daerah, serta celah dalam Bilateral Investment Treaty (BIT) yang
dimanfaatkan investor asing untuk menggugat negara.
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis implikasi hukum dari putusan ICSID dalam kasus Churchill Mining
terhadap sistem hukum nasional, serta mengevaluasi upaya penguatan perlindungan
hukum terhadap investasi asing di Indonesia pasca sengketa tersebut. Penelitian
dilakukan menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan teknik analisis
kualitatif terhadap dokumen putusan ICSID.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
celah hukum dalam rezim perizinan dan desentralisasi menjadi salah satu pemicu
munculnya sengketa internasional. Di sisi lain, kurangnya pengawasan terhadap
struktur pengendalian PMA memungkinkan terjadinya praktik penguasaan tambang
oleh pihak asing secara tidak langsung. Pemerintah Indonesia telah menempuh
langkah korektif melalui kebijakan resentralisasi , serta melakukan reformasi
terhadap perjanjian. Keseluruhan langkah tersebut merupakan bagian dari upaya
membangun sistem investasi yang seimbang, menjamin kepastian hukum bagi
investor, dan tetap menjaga kedaulatan negara atas sumber daya alamnya.