Transisi menuju sistem transportasi rendah emisi menjadi bagian dari agenda dekarbonisasi nasional seiring komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission 2060. Kota Surakarta, yang berambisi kuat menuju kota berbasis 100% energi terbarukan, mulai mengadopsi elektrifikasi transportasi umum sebagai strategi kunci. Penelitian ini bertujuan mengembangkan model annual cost untuk mengevaluasi kebutuhan investasi dari berbagai skenario subsidi elektrifikasi transportasi kota. Model disusun menggunakan pendekatan Net Present Value (NPV) dengan horizon waktu perencanaan 10 tahun yang mempertimbangkan komponen CAPEX dan OPEX dari perspektif operator bus, penyedia charging station, dan pemerintah. Simulasi dilakukan menggunakan skema pembiayaan buy the service (BTS) ke dalam dua skenario, yaitu skenario penurunan tarif layanan BTS melalui subsidi CAPEX dan skenario subsidi CAPEX biaya layanan buy the service armada BBM dengan memberikan subsidi pada CAPEX dimulai dari 0% hingga mencapai titik impas (BEP). Hasil simulasi menunjukkan bahwa break-even point (BEP) pada skenario pertama tercapai pada tingkat subsidi sebesar 55%, sedangkan pada skenario kedua BEP tercapai pada subsidi 35%. Analisis sensitivitas terhadap Minimum Attractive Rate of Return (MARR) dilakukan sebagai upaya manajemen risiko. Hasil analisis menunjukkan bahwa skenario penurunan tarif BTS memiliki ketahanan lebih tinggi terhadap peningkatan risiko, sedangkan skenario subsidi CAPEX lebih sensitif terhadap perubahan peningkatan risiko. Model yang dikembangkan diharapkan dapat menjadi dasar perencanaan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan strategi investasi dan kebijakan dekarbonisasi dalam mendukung transisi menuju sistem transportasi rendah emisi berbasis energi terbarukan.
