Karapan sapi merupakan warisan budaya ikonik Pulau Madura yang melibatkan ekosistem sosial-ekonomi luas. Di tengah kebangkitan event Piala Presiden dan simbolisasi identitas seperti monumen karapan sapi, keberlanjutan tradisi menghadapi paradoks yaitu antusiasme publik yang tinggi namun beriringan dengan tantangan modernisasi, fasilitas yang masih timpang, dan komersialisasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis elemen-elemen modal sosial dalam pelestarian budaya karapan sapi di Kecamatan Sampang, menganalisis peran modal sosial dalam pelestarian budaya karapan sapi di Kecamatan Sampang, dan menganalisis tantangan yang dihadapi masyarakat Kecamatan Sampang dalam memanfaatkan modal sosial untuk melestarikan budaya karapan sapi. Pendekatan yang digunakan kualitatif deskriptif dengan teknik observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi; informan meliputi pemilik/pengerap, joki, perawat, pengurus Pakarsakera, tokoh adat, dan unsur pemerintah. Analisis data mengikuti model Miles & Huberman dengan triangulasi untuk validitas. Hasil menunjukkan tiga elemen modal sosial yang saling menguatkan. Jaringan sosial berlapis (bonding) di tingkat tim/keluarga, bridging antar paguyuban melalui Pakarsakera, dan linking dengan pemerintah sangat efektif memobilisasi sumber daya dan informasi (rapat rutin, kanal WhatsApp, koordinasi lomba dines maupun tangghe’en). Kepercayaan dibangun melalui reputasi, kedekatan relasional, dan mekanisme peneguhan keadilan (ritual, tata tertib, serta prosedur protes berbantuan video shoting finish). Norma (kesusilaan, kesopanan, dan hukum) menjadi perekat kohesi dan kontrol sosial. Modal sosial tersebut berperan pada mobilisasi partisipasi, transmisi pengetahuan (belajar perawatan, bahkan paket eduwisata), dan penguatan kohesi sosial (solidaritas komunitas, perayaan kolektif). Rangkaian peran ini menjadi prasyarat berjalannya lomba yang akuntabel dan inklusif. Tantangan terpetakan menjadi tiga bagian yaitu internal (rivalitas antar kelompok, erosi kepercayaan akibat komersialisasi/perjudian), eksternal (komodifikasi pariwisata, kualitas fasilitas/lapangan, dinamika kebijakan), dan keberlanjutan (menyusutnya minat pemuda). Oleh karena itu, keberhasilan pelestarian sangat bergantung pada pengelolaan berkelanjutan modal sosial: memperkuat jejaring bridging–linking, tata kelola lomba yang akuntabel (anti-perjudian/protes terstandar), peningkatan fasilitas, serta program regenerasi dan literasi budaya bagi pemuda.