Terlahir sebagai anak perempuan sekaligus anak pertama menjadikan anak perempuan pertama mengalami banyak stereotip di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengalaman dan respons anak sulung perempuan dalam menghadapi stereotip di masyarakat, khususnya di Kota Surakarta, serta dampak stereotip terhadap dinamika dalam keluarga. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus dan teknik wawancara mendalam terhadap lima informan utama yang merupakan anak sulung di keluarganya, serta lima informan pendukung yang merupakan anggota keluarga dari informan utama. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stereotip tersebut dibentuk dan diperkuat melalui proses eksternalisasi sejak usia dini, objektivasi oleh masyarakat, dan internalisasi oleh anak sulung perempuan sebagaimana dijelaskan dalam teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann. Respons informan terhadap stereotip bervariasi, mulai dari penerimaan hingga penolakan halus, serta munculnya refleksi kritis terhadap ketimpangan peran gender. Dampak yang dirasakan mencakup tekanan emosional, kebutuhan afeksi yang tidak terpenuhi, serta konflik batin. Namun, di sisi lain, stereotip juga mendorong perkembangan kapasitas individu dalam hal tanggung jawab, kepemimpinan, dan kesadaran sosial. Penelitian ini menyoroti bahwa stereotip anak sulung perempuan bukan sekadar label, tetapi juga membentuk identitas, pola relasi, dan kesejahteraan psikologis mereka, serta memerlukan kesadaran kolektif untuk menciptakan pembagian peran yang lebih setara.