Keterwakilan perempuan dalam lembaga kontestasi politik di Kabupaten Karanganyar tentu sangat ditunggu keberadaannya. Namun sering kali perempuan yang mencalonkan diri menjadi sorotan publik, dikarenakan adanya saja kendala untuk bergerak menjadi bagian partisipasi politik, perempuan sangat minim dan rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik. Hal tersebut berbanding terbalik dengan jumlah perempuan yang ada di Kabupaten Karanganyar yang mencapai 136,3 juta jiwa tetapi sangat minim untuk bergabung dalam lembaga politik. Penelitian ini bertujuan mengungkap strategi politik anggota DPRD perempuan di Kabupaten Karanganyar dalam memanfaatkan modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik untuk memperoleh dan mempertahankan jabatan politik. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori modal oleh Pierre Bourdieu dan teori kehadiran politik Anne Phillips. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Lokasi penelitian berada di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Karanganyar. Data diambil dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Sedangkan analisis data menggunakan analisis Miles dan Huberman. Temuan menunjukkan modal ekonomi berperan sebagai syarat awal dalam pencalonan dan kampanye, namun keterbatasannya dapat diimbangi melalui pemanfaatan modal sosial dan budaya. Keterlibatan dalam komunitas, nilai pemahaman serta bahasa lokal, dan kedekatan emosional dengan masyarakat terbukti mampu membangun loyalitas pemilih yang tahan terhadap politik uang. Akumulasi kepercayaan dan pengakuan publik kemudian menghasilkan modal simbolik, yang memperkuat posisi perempuan di arena politik yang kompetitif. Hadirnya delapan legislator perempuan di DPRD Karanganyar periode 2024–2029 yang menduduki jabatan strategis (pimpinan komisi, fraksi, dan badan anggaran) menunjukkan adanya pergeseran dari representasi deskriptif menuju representasi substantif. Kontribusi nyata mereka diwujudkan melalui dukungan UMKM perempuan, penguatan Kelompok Wanita Tani (KWT), serta fasilitasi komunitas perempuan. Dengan demikian, penelitian ini menegaskan bahwa keterwakilan politik perempuan tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga substantif, dengan dampak nyata bagi pemberdayaan masyarakat dan pengambilan keputusan berbasis gender.