Abstrak


Penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi dalam ransum terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik kelinci New Zealand White jantan


Oleh :
Irvan Syaifuddin Azti - H0505044 - Fak. Pertanian

ABSTRAK Kelinci merupakan ternak yang berpotensi sebagai penghasil daging. Ransum yang diberikan pada ternak kelinci umumnya terdiri dari hijauan sebagai pakan berserat dan konsentrat sebagai pakan penguat. Karena mahalnya harga konsentrat, diperlukan bahan pakan alternatif yaitu dengan menggunakan limbah industri hasil pertanian. Salah satu limbah industri hasil pertanian yang dapat digunakan sebagai bahan pakan adalah kulit buah kakao. Fermentasi menggunakan Aspergillus niger untuk menurunkan serat kasar dan meningkatkan proteinnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik kelinci New Zealand White jantan serta mengetahui level yang paling optimum dalam penggunaan tepung kulit kakao fermentasi untuk kelinci New Zealand White jantan. Penelitian ini dilaksanakan pada 20 Juli sampai 13 September 2009 di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Non Ruminansia (Satker Kelinci), Balekambang, Surakarta. Penelitian menggunakan 16 ekor kelinci New Zealand White jantan dengan bobot badan rata-rata 851,50 + 92,39 gram. Konsentrat campuran dan hijauan berupa rumput lapang serta tepung kulit buah kakao fermantasi (TKBKF). Ransum perlakuan yang digunakan untuk P0 (60 persen rumput lapang dan 40 persen konsentrat), adapun masing-masing perlakuan untuk penggunaan TKBKF yaitu P1 (30 persen konsentrat +10 persen TKBKF), P2 (20 persen konsentrat +20 persen TKBKF), P3 (10 persen konsentrat +30 persen TKBKF). Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah dengan 4 level perlakuan (P0, P1, P2 dan P3). Masing-masing perlakuan terdiri dari empat ulangan. Parameter yang diamati meliputi konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik, kecernaan bahan kering, dan kecernaan bahan organik. Hasil penelitian didapatkan data masing-masing perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut untuk konsumsi bahan kering adalah 119,92; 111,71; 103,63 dan 96,18 gram/ekor/hari, konsumsi bahan organik adalah 102,66; 96,43; 90,13 dan 84,18 gram/ekor/hari, kecernaan bahan kering dalam persen adalah 72,82; 72,25; 70,85 dan 69,52, kecernaan bahan organik dalam persen adalah 73,12; 72,55; 71,63; dan 70,22. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi memberikan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Kesimpulan yang didapat bahwa tepung kulit buah kakao fermentasi (TKBKF) dapat digunakan sebagai komponen konsentrat sampai taraf 30% dari total konsentrat, meskipun tidak meningkatkan konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik pada kelinci New Zealand White jantan. ABSTRACT Rabbit has a potential livestock as meat producer. Ration has given on rabbit livestock usually consist of forages as fiber feed and concentrate as suplement feed. Because of costly price of concentrate, so that it was needed alternative feed by use of waste product agriculture industry, one of them waste product agriculture industry as used feed is cocoa shell. Cocoa shell still having high crude fiber and low crude protein, causing needs fermentation to applies Aspergillus Niger to reduce crude fiber and improve its crude protein. This research was studied to find out effect of using fermented cocoa shell in the ration on dry matter digestibility and organic matter digestibility of male New Zealand White rabbit. This research began from Juli 20th until September 13th, 2009 in Breeding and Conducting Centre of Non Ruminansia (set of rabbit), Agriculture Sub Division of Surakarta. The used of 16 male New Zealand White rabbit with average body weight of 851,50 + 92,39 gram. Concentrate used is admixture concentrate and forage in form of field grass and the treatment feed is fermented cocoa shell (FCS). Treatment rations used to control are P0 (60 percent field grass+40persent concentrate), each treatment for the usage of FCS that P1 (30 percent concentrate+10 percent FCS), P2 (20 percent concentrate+20 percent FCS), P3 (10 percent concentrate+30 percent FCS). This research design is used Completely Randomized Design (CRD) one way classification with four treatment (P0,P1,P2 dan P3) and each treatments is replicated four times, and every replication consist of one male New Zealand White rabbit. The parameters are dry matter intake, organic matter intake, dry matter digestibility and organic matter digestibility. The research shows that average of three treatments P0, P1, P2 and P3 for dry matter intake subsequently are 119,92; 111.71; 103.63 and 96.18 gram/head/day, for organic matter intake are 102.66; 96.43; 90.13 and 84.18 gram/head/dry, for dry matter digestibility are 72,82%; 72,25%; 70,85% and 69,52% and for organic matter digestibility are 73,12%; 72,55%; 71,63%; and 70,22% The variance analysis different shows that the use of fermented cocoa shell is no significant (P>0,05) on dry matter intake, organic matter intake, dry matter digestibility and organic matter digestibility male New Zealand White rabbit. The conclution from the research is that fermented cocoa shell as used component concentrate until level 30 percent from total concentrate doesn’t give increase to dry matter intake, organic matter intake, dry matter digestibility and organic matter digestibility male New Zealand White rabbit.