Abstrak


Analisis konstruksi hukum upaya paksa penyadapan oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) dalam penyidikan tindak pidana korupsi (Telaah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)


Oleh :
Titin Puspita Sari - E0006038 - Fak. Hukum

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konstruksi hukum penyadapan yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan bagaimana konstruksi hukum penyadapan dalam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia serta urgensinya dalam penanganan tindak pidana korupsi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, mengkaji bagaimana konstruksi hukum yang digunakan dalam penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002. Sumber penelitian sekunder yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan sumber bahan hukum yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan rujukan internet. Analisis penelitian yang digunakan adalah silogisme deduktif dengan pengumpulan sumber penelitian untuk menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui konstruksi hukum yang digunakan oleh Komisi Pemberantaan Korupsi dalam melakukan penyadapan dan urgensi penyadapan dalam penanganan tindak pidana korupsi. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa konstruksi hukum yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyadapan adalah didasarkan pada masing-masing tahap penegakan hukum. Dalam tingkat penyelidikan, penyadapan dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup untuk dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan dan subyek hukum yang dapat dikenai penyadapan adalah setiap orang yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Dalam tingkat penyidikan, penyadapan dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan bukti, kedudukan hasil penyadapan adalah sebagai alat bukti petunjuk berdasarkan Pasal 26 A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menjadi subyek penyadapan adalah tersangka dalam tindak pidana korupsi. Dalam tahap penuntutan, penyadapan dilakukan untuk melengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang telah dibuat oleh penyidik, yang menjadi subyek penyadapan adalah terdakwa pada tindak pidana korupsi. Penyadapan, meskipun bertentangan dengan HAM tetap dapat dilakukan karena memiliki dasar hukum yang jelas dan penyadapan memiliki peran yang penting dalam penanganan tindak pidana korupsi.