Penelitian ini bertujuan untuk menjawab 2 (dua) persoalan yakni (1). Apakah kebijakan hukum pidana yang ada sekarang ini dapat menanggulangi tindak pidana perzinahan ? (2). Bagaimanakah sebaiknya kebijakan hukum pidana yang akan datang dalam menanggulangi tindak pidana perzinahan ?.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum empiris. Lokasi penelitian di PN Surakarta, data empiris diperoleh dari tanggapan hakim mengenai tindak pidana perzinahan, sedangkan data sekunder yang berkaitan dengan tindak pidana perzinahan. diperoleh dari putusan PN/PT/MA hal ini disesuaikan dengan tujuan penelitian ini.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa dalam hukum formal yang berlaku saat ini (KUHP) terdapat pasal yang melarang tindak pidana perzinahan yakni Pasal 284 KUHP. Sebagai hasil rumusan hukum pidana dimasa peninggalan Belanda Pasal 284 KUHP tsb bernuansa liberal-individualis. Pasal tersebut dirasakan tidak cocok lagi dengan keadaan masyarakat sekarang. Data kasus I perzinahan yang telah diputus oleh P.N dan P.T Banda Aceh serta putusan kasasi M.A. dan data kasus II putusan P.N Klungkung, Bali serta putusan kasasi M.A, menegaskan bahwa pasal 284 KUHP ternyata tidak sepenuhnya cocok dipergunakan sebagai sarana penanggulangan tindak pidana perzinahan.
Dasar peradilan negara untuk mengadili kedua kasus tersebut adalah UU No. 4 tahun 1970 (dahulu) & UU No. 4 tahun 2004 (sekarang). Ketentuan dalam UU tersebut melarang hakim untuk menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih hukumnya tidak ada. Disamping itu hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai hukum yang tumbuh di masyarakat. Atas dasar itulah maka hakim tersebut memutus berdasarkan pada hukum adat (Kasus di P.N Klungkung Bali dan P.N Banda Aceh). Dasar hukum lainnya adalah pasal 5 ayat 3 b UU No 1 tahun 1951, yakni apabila terdapat perbuatan yang belum diatur dalam KUHP maka hakim dapat mencari kesamaan atau kemiripan kasus yang terjadi dengan pasal dalam KUHP, oleh karena itu M.A dalam memutus kasus Aceh menerapkan Pasal 281 KUHP. Meskipun demikian pada hakekatnya pasal 284 KUHP ternyata sudah tidak cukup memadai lagi. Perlunya meninjau kembali rumusan pasal 284 KUHP inipun mendapat respon dari responden hakim. Bahwa 100 % responden hakim berpendapat perlunya pasal 284 KUHP ditinjau lagi karena sudah tidak memadai. Disamping itu 75 % responden hakim menghendaki unsur agama perlu dipertimbangkan sebagai bahan dasar perumusannya. Dalam rancangan konsep KUHP baru (sampai dengan tahun 1993) merumuskan pasal perzinahan yang lebih diperluas, dimana Pasal 386 (14.10) mengancam dengan pidana, perzinahan yang dilakukan oleh mereka seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah dewasa namun masing-masing tidak terikat tali perkawinan yang sah. Pasal 388 (14.10 b) mengancam dengan pidana terhadap perbuatan "kumpul kebo". Perbuatan "kumpul kebo" ini sesungguhnya merupakan perbuatan perzinahan sebab mereka telah menjadi satu rumah tanpa perkawinan yang sah. Dengan demikian dimasa mendatang diharapkan rumusan tindak pidana tersebut dapat mengatasi minimal dapat mengurangi tindak pidana perzinahan.