Penelitian yang dilaporkan ini bertujuan untuk: (I) menjelaskan karakteristik struktur pemakaian bahasa praktisi hukum yang tercermin di dalam struktur wacana persidangan pidana, surat dakwaan, surat tuntutan, dan putusan hakim; (2) menentukan fungsi tanya jawab, jenis dan fungsi tindak tutur, dan prinsip-prinsip interaksi praktisi hukum di dalam persidangan pidana, dan (3) menjelaskan bentuk penafsiran unsur-unsur tindak pidana dan ungkapan- ungkapan khusus (kosa kata) yang digunakan praktisi hukum sebagai penentu register.
Jenis penelitian kualitatif dengan studi kasus ini menggunakan pendekatan sosiolinguistik (etnografi komunikasi dan register) dan pragmatik. Data dalam penelitian ini berbentuk penggunaan bahasa (wacana, tindak tutur, dan ungkapan khusus) praktisi hukum di wilayah Surakarta. Yang dijadikan sumber datanya adalah pemakaian bahasa para hakim, jaksa, penasihat hukum yang terdapat di dalam persidangan pidana, Surat Dakwaan, Surat Tuntutan, Putusan Pidana, KUHP, KUHAP, dan kamus hukum. Pengumpulan data diperoleh dengan teknik simak bebas libat cakap (observasi nonpartisipasi), teknik rekam, teknik catat, dan teknik wawancara. Langkah awal analisis data memakai model siklus dengan teknik interaktif. Analisis data untuk substansi kebahasaannya menggunakan teknik kontekstual dengan cara mengaitkan konteks-konteks sosial dan situasional yang berkaitan dengan prosedur pengacuan makna sebagai kelaziman-kelaziman wacana (pertuturan) praktisi hukum. Teknik analisis padan (referensial) digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi bentuk dan maksud tuturan praktisi hukum. Istilah (ungkapan) khusus yang menunjukkan ciri-ciri register analisis dengan menentukan ciri-ciri arti konsep dan arti perluasannya. Penyajian hasil analisis berbentuk uraian yang berwujud kalimat-kalimat yang diikuti pemerian secara rinci (model ini penyajian secara informal).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemakaian bahasa dalam persidangan pidana di wilayah Surakarta terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP. Selain itu, pemakaian bahasa hukum (khususnya bahasa tulis) merupakan pola pemakaian bahasa yang bersifat ketat, teratur, dan berulang. Ciri- ciri pemakaian bahasa seperti ini dapat dikategorikan sebagai register, karena ada bentuk pilihan bahasa yang dapat disesuaikan dengan fungsinya masing-masing. Pemakaian bahasa tulis hukum pidana dibedakan atas: (1) surat dakwaan, (2) surat tuntutan, dan (3) putusan hakim. Ada keterkaitan antarketiga surat tersebut. Kaitan itu dinyatakan dengan pengulangan pada identitas terdakwa, isi dakwaan pada bagian surat tuntutan dan putusan, isi tuntutan akan diulang lagi pada putusan hakim, dan analisis yuridis pada tuntutan akan diulang pada putusan. Melihat adanya pengulangan yang kaitmengait itu, dapat dikatakan adanya wacana berbingkai (wacana tulis mejadi bagian dari wacana persidangan) dan ada keterkaitan antarstruktur wacana tulis bahasa hukum pidana (intertekstualitas).
Struktur pemakaian bahasa lisan di persidangan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event) yang berkaitan dengan situasi tutur (speech situation) dan tindak tutur (speech act). Sebagai suatu peristiwa tutur, persidangan pidana membentuk satu skrip (urutan tindakan) persidangan pidana. Di dalam skrip persidangan pidana ditemukan 9 urutan fase. Urutannya meliputi fase: (1) pembukaan, (2) pemeriksaan identitas terdakwa, (3) pembacaan dakwaan, (4) pertanyaan tentang keberatan dari terdakwa (eksepsi), (5) pemeriksaan saksi, (6) pemeriksaan terdakwa, (7) pembacaan tuntutan, (8) pembacaan putusan, dan (9) penutup.
Fungsi pemakaian bahasa dalam persidangan pidana dapat dilihat dari serangkaian proses tanya jawab yang dilakukan antarhakim, hakim dan jaksa, hakim dan penasihat hukum, hakim dan saksi, hakim dan terdakwa, jaksa dan saksi, jaksa dan terdakwa, penasihat hukum dan saksi. Pelaksanaan beberapa fungsi tanya jawab tersebut ditentukan oleh adanya (1) hubungan posisi hakim terhadap partisipan lainnya, (2) cara bertutur hakim kepada Mitra tutur-nya, (3) tindak tutur dan sub-subtidak tutur, dan (4) prinsip-prinsip interaksi antarpartisipan dalam persidangan.
Ditinjau dari kajian tindak tutur, tuturan yang terjadi pada acara persidangan pidana dapat diklasifikasi menjadi tujuh fungsi, yakni asertif, performatif, verdiktif, direktif, komisif, ekspresif, dan fatis.
Penafsiran unsur tindak pidana dilakukan berdasarkan (1) makna referensial unsur tindak pidana, (2) penafsiran dengan cara narasi (penceriteraan) peristiwa pidana, dan (3) penentuan makna yang tercakup pada makna kata di atasnya (hiponiminya).
Tindak pidana dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan atas tindak pidana: pencurian, penadahan, penggelapan, penipuan, penganiayaan, pembunuhan, pemakaian narkotika, perjudian, perzinahan, pemerkosaan, korupsi, pemalsuan, keimigrasian, penyimpangan obat daftar G, dan pengrusakan barang.
Kosa kata khusus yang berkenaan dengan tindak pidana dibedakan atas: kosa kata yang berkaitan dengan jenis tindak pidana, pelibat dalam persidangan, tindakan hukum, dan kosa kata yang berkaitan dengan proses persidangan.
Akhirnya, perlu dirancang kerja sama antara praktisi hukum dan ahli bahasa agar kesalahan dalam pemakaian bahasa dapat lebih efektif dalam pemakaiannya. Khususnya dalam bahasa tulis, istilah hukum dan rumusan tindak pidana dinyatakan dengan kata atau frase, dan penafsiran unsur tindak pidana mempertimbangkan penafsiran makna kebahasaan.