Abstrak


Kekuasaan dan kekerasan secara vertikal dan horisontal terhadap anak jalanan yang direpresentasikan dalam film (analisis wacana kritis mengenai kekuasaan dan kekerasan secara vertikal dan horisontal terhadap anak jalanan dalam film sepuluh)


Oleh :
Asiska Riviyastuti - D0206038 - Fak. ISIP

Film merupakan salah satu bentuk media massa yang digunakan untuk menyebarkan hiburan, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Secara lebih spesifik film di satu pihak bisa menjadi cermin bagi realitas yang beredar di masyarakat. Namun, di lain pihak ia juga membentuk realitas sosial itu sendiri. Focus penelitian ini adalah untuk melihat praktik kekuasaan dan kekerasan serta tujuan yang ada dibalik teks film Sepuluh, dan apakah yang ingin disampaikan oleh pihak produsen bisa ditangkap oleh konsumen. Dalam melakukan analisis, peneliti menggunakan metode analisis wacana kritis model Fairclough, yang melihat wacana dalam suatu teks dengan tanpa menafikkan konteks sosial yang menyertainya. Konteks sosial ini antara lain konteks produksi dan konsumsi teks (discourse practice) serta konteks sosial dan situasional teks tersebut (sosiocultural practice). Dalam analisis teks, peneliti memanfaatkan model analisis dari Teun A. van Dijk. Peneliti melihat topik utama dari dialog film, gambar visual film, dan tokoh yang masuk dalam film. Dalam konteks produksi dan konsumsi teks, peneliti melakukan indept interview terhadap pihak yang terkait. Sedangkan pada level sociocultural, peneliti melakukan studi literature terkait dengan kondisi sosial dan situasional yang melatarbelakangi film tersebut muncul. Setelah melakukan analisis teks, diperoleh kesimpulan bahwa tema utama film tersebut adalah kekuasaan dan kekerasan terhadap anak jalanan. Kekuasaan telah menimbulkan tindak kekerasan terhadap anak jalanan. Kekerasan yang dialami oleh anak jalanan yang digambarkan dalam film tersebut antara lain kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual dan eksploitasi. Dan kekerasan tersebut terjadi secara vertical (kekerasan yang dilakukan oleh pimpinan anak jalanan) dan horisontal (kekerasan yang dilakukan oleh sesama anak jalanan). Sedangkan pada level discourse practice, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat kesepahaman maksud antara apa yang ingin disampaikan oleh produsen dan apa yang ditangkap oleh pihak konsumen/penonton, yaitu anak jalanan memang menjalani kehidupan yang keras dan rawan dengan tindak kekerasan. Factor situasional yang melatarbelakangi munculnya film tersebut adalah bangkitnya perfilman Indonesia, kompleksitas karakteristik anak jalanan, dan rawannya anak jalanan dengan tindak kekerasan. Sedangkan factor sosial diketahui bahwa ketidakmampuan pemerintah dalam menangani krisis, ideology kapitalis dalam film dan lemahnya posisi anak-anak di masyarakat mempengaruhi munculnya film tersebut.