;

Abstrak


Problematika Keterlambatan Terhadap Diagnostik Dan Pengobatan Tuberkulosis Paru


Oleh :
Niwan Tristanto Martika - S6006003 - Sekolah Pascasarjana

Didapatkan 147 penderita TB Paru kasus baru (power 80%) yang memiliki karakteristik penderita menurut hasil foto toraks di tiga Kabupaten Eks Karesidenan Surakarta yang secara statistik berbeda nyata (p<0.05) dengan rata-rata nilai R Square lebih dari 5%. Variabel problematika penderita terhadap keterlambatan diagnostik TB Paru yang menunjukkan beda nyata adalah konsultan (p=0.047), alasan konsultasi ke pelayanan kesehatan (p=0.018), alasan tidak konsultasi (p=0.045). Variabel-variabel keterlambatan dokter dalam diagnostik TB Paru kasus baru yang menunjukkan beda nyata adalah status BTA (p=0.007) dan hasil foto toraks (p=0.000) dengan nilai R Square lebih dari 5%. Keterlambatan total terhadap tindakan dokter ternyata memiliki nilai observed power sebesar 50. Artinya kesalahan dokter dalam pemeriksaan TB paru memiliki kekuatan kebenaran dan kesalahan dalam diagnostik TB paru yang sama besar. Problematika keterlambatan diagnostik dari aspek pelayanan kesehatan menurut hasil foto toraks secara statistik menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan rata-rata nilai R Square lebih dari 5%. Kategori keterlambatan diagnostik TB Paru dari aspek pelayanan kesehatan menurut hasil foto toraks didapatkan jumlah terbanyak penderita yang mengunjungi pelayanan kesehatan dengan jarak 1–5 km (n=101), jarak 6-10 km (n=29), jarak 11-15 km (n=8), jarak 16-20 km dan 21-25 km (n=1), jarak lebih dari 25 km (n=4) yang secara statistik signifikan (p=0.049). Hasil analisis keterlambatan diagnostik TB Paru dari aspek ada /tidaknya pelayanan kesehatan menurut hasil foto toraks ternyata secara statistik signifikan (p=0.022). Keterlambatan diagnostik TB Paru dari aspek waktu untuk sampai ke pelayanan kesehatan selama kurang 30 menit (n=90) dan lebih 60 menit (n=6) ternyata secara statistik signifikan (p=0.005). Keterlambatan diagnostik TB Paru dari aspek tempat pelayanan kesehatan dengan faktor fasilitas kesehatan di Puskesmas (n=61) dan di rumah sakit paru (n=4) menunjukkan secara statistik signifikan (p=0.007).