Abstrak
Sensitivitas Lembaga Penyiaran Radio Terhadap Advokasi Difabel Di Kota Surakarta
Oleh :
Paramastu Titis Anggitya - S22090700 - Sekolah Pascasarjana
Difabel merupakan bagian dari masyarakat yang kerap kali menjadi cacat karena adanya proses pencacatan secara struktural maupun kultural yang terjadi di masyarakat. Proses advokasi hak-hak difabel sejatinya merupakan proses pembentukan pandangan, penggalangan opini dan sumber-sumber kekuatan, hingga pengorganisasian serangkaian aksi atas upaya advokasi hak-hak difabel. Maka, menjadi penting pula untuk melihat bagaimana media berperan dalam hal ini. Sensitivitas media –khususnya lembaga penyiaran radio– di Kota Surakarta terhadap advokasi difabel menjadi menarik untuk digali, mengingat secara historis, Kota Surakarta memiliki keterkaitan erat dengan sejarah cikal bakal lahirnya radio di Indonesia, dan juga menjadi salah satu rujukan dasar tentang pergerakan difabel di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai permasalahan tentang sensitivitas lembaga penyiaran radio di Kota Surakarta terhadap advokasi difabel.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan teori Developmental Model of Intercultural Sensitivity (DMIS) Bennett serta Teori Pengetahuan dan Kepentingan Manusia Habermas. Sumber data dalam penelitian ini meliputi sepuluh orang informan yang terdiri dari perwakilan pengelola lima lembaga penyiaran radio di Kota Surakarta, yaitu Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta, dua radio Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yaitu PTPN FM dan Solo Radio, serta dua radio Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) yaitu Gema Utama MTA FM dan Radio Dakwah Syariah (RDS) FM; mantan pengelola Radio Suara Difabel (RSD) FM –sebuah radio komunitas difabel yang pernah mengudara di Surakarta– ; aktivis difabel; dan praktisi media.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sensitivitas lembaga penyiaran radio terhadap advokasi difabel di Kota Surakarta masih sebatas pada pemahaman mengenai ada tidaknya penerapan program acara yang secara khusus ditujukan bagi kaum difabel. Masing-masing lembaga penyiaran radio memiliki sensitivitas yang beragam, namun masih sebatas pada taraf kesadaran magis dan kesadaran naif. Isu difabel belum dipahami secara umum sebagai sebuah perspektif yang dapat melebur ke dalam aspek lain, misalnya kepenyiaran radio, khususnya di Kota Surakarta. Masih adanya anggapan bahwa isu difabel adalah isu sekunder yang „kurang menjual‟ bisa dipahami ketika karakter media yang ada saat ini adalah pro kapitalis.