Abstrak


Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan tindakan pencegahan penyakit rabies pada warga di wilayah puskesmas Kuta II


Oleh :
Ni Kadek Septiani Sarjana - G0011148 - Fak. Kedokteran

Visi rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang maju, adil, dan makmur. Visi tersebut direalisasikan pada empat misi pembangunan. Misi pembangunan kesehatan 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik (Kemenkes, 2013). Pembangunan kesehatan yang dicanangkan pada periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II telah memperhatikan berbagai masukan dari pemangku kepentingan (stakeholders) sebagaimana telah didiskusikan dalam National Summit pada tanggal 30 Oktober 2009. Dalam National Summit tersebut, telah dibahas 4 (empat) isu pokok pembangunan kesehatan, yaitu: 1) Peningkatan pembiayaan kesehatan untuk memberikan jaminan kesehatan masyarakat; 2) Peningkatan kesehatan masyarakat untuk mempercepat pencapaian target MDGs; 3) Pengendalian penyakit dan penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana; dan 4) Peningkatan ketersediaan, pemerataan, dan kualitas tenaga kesehatan terutama di DTPK. Di samping 4 isu pokok tersebut, Kementerian Kesehatan memandang perlu untuk menambahkan isu penting lainnya yaitu dukungan manajemen dalam peningkatan pelayanan kesehatan, yang termasuk di dalamnya adalah good governance, desentralisasi bidang kesehatan, dan struktur organisasi yang efektif dan efisien. Salah satu penjabaran isu pokok pembangunan kesehatan adalah masih tingginya kesakitan dan kematian akibat penyakit menular dan tidak menular (Kemenkes, 2013). Beberapa penyakit dapat menular melalui binatang yang biasa disebut penyakit bersumber binatang. Penyakit bersumber binatang di antaranya adalah Malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD), Chikungunya, dan Rabies. Penyakit tersebut dapat mengakibatkan kerugian secara ekonomi bahkan beberapa menyebabkan kematian (Kemenkes, 2013). Rabies merupakan penyakit zoonosys yaitu penyakit yang menular dari hewan ke manusia. Infeksi ini ditularkan ke manusia oleh hewan yang sudah terkena penyakit rabies. Hewan-hewan yang terutama dilaporkan sebagai penyebab rabies adalah : anjing, rakun, rubah, monyet dan kelelawar (Yausaf, 2012). Ada sebelas Negara anggota WHO di kawasan Asia Tenggara antara lain (Bangladesh, Bhutan, Democratic People’s Republic of Korea, India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, Timor-Leste) dimana delapan di antaranya adalah endemik rabies (Gongal dan Alice , 2011). Terdapat 50.000-55.000 orang meninggal akibat rabies di seluruh dunia setiap tahunnya, dengan lebih dari 95% dari korban rabies dilaporkan berada di Asia dan Afrika dan hampir semua korban adalah gigitan anjing rabies (Wunner dan Deborah, 2010). Rabies pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1884 dan sekarang terjadi di 24 dari 33 provinsi (Putra et al., 2013). Dimana sembilan provinsi yang bebas dari rabies, yaitu Bangka Belitung, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, dan Papua Barat (Menkokesra, 2010).Sebelum tahun 2008, Bali dianggap bebas rabies (Putra et al., 2013). Pada tanggal 17 November 2008, kematian manusia pertama dari infeksi virus rabies terjadi di Ungasan, Bali, setelah gigitan anjing. Pada 27 Desember 2009, 27 kasus manusia telah dilaporkan terjadi di bagian yang terpisah dari pulau, tapi terutama di selatan, di Tabanan dan Ungasan. Pada 13 Maret 2010, jumlah kematian manusia dilaporkan telah melampaui 40 orang (Gautret et al., 2010). Dalam setahun berikutnya, total lebih dari 130 orang meninggal akibat rabies (terutama orang-orang yang tidak menerima profilaksis pasca pajanan). Dengan wabah saat ini dan populasi anjing diperkirakan saat ini di Pulau Bali menjadi 500.000, Badan Veterinari Bali berupaya untuk mengendalikan wabah rabies pada anjing, melalui program vaksinasi masal dan pembunuhan hewan (Putra et al., 2013). Menurut data yang dikumpulkan oleh Yayasan Yudistira sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perbandingan populasi manusia dan anjing di Bali diperkirakan 1:6,5 (antara 5-8). Dengan jumlah penduduk Bali sebanyak 3,5 juta jiwa, jumlah populasi anjing diperkirakan sekitar 540.000 ekor, atau 96 ekor/km2. Jumlah tersebut termasuk anjing yang dirumahkan (dirantai, dikandang atau dilepaskan dalam pagar rumah) anjing dengan pemilik yang dirumahkan dan dilepas, anjing dengan pemilik yang dilepaskan dan anjing tanpa pemilik. Proporsi anjing yang dirumahkan kurang dari 30% , sisanya merupakan anjing liar. Untuk jumlah anjing di Wilayah Kuta mencapai 6.502 ekor anjing, sehingga hal ini mengakibatkan faktor risiko warga terkena penyakit rabies meningkat (Besung et al., 2011). Kondisi ini mengakibatkan warga di Wilayah Kuta berisiko tinggi terkena penyakit rabies. Hal ini harus segera ditanggulangi agar tidak menyebabkan bertambahnya korban jiwa akibat rabies dan tidak menimbulkan keresahan dari warga. Diketahui bahwa pengetahuan dan sikap akan memengaruhi tindakan pencegahan, dimana bila orang telah melakukan tindakan pencegahan terhadap penyakit rabies maka akan menurunkan jumlah korban jiwa akibat penyakit rabies. Melihat hal tersebut menarik perhatian peneliti untuk meneliti hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan tindakan pencegahan penyakit rabies pada warga di Wilayah Puskesmas Kuta II.