Abstrak
Investigation analysis of regional leader which is anticipated doing a criminal of corruption according to the statute number 32 year 2004 about area governance
Oleh :
Dea Paramita Anggraini Putri - - Fak. Sastra dan Seni Rupa
ABSTRACTION
This research aims to answer the problems about going into effect of investigation procedures to regional leader which is anticipated doing a criminal of corruption according to The Statute Number 32 Year 2004 About Area Governance with the weaknesses which found on the procedures.
This research is including to the normative law research type which having the character of descriptive. Technique of data collecting was done by bibliography study. This research approach uses the Statute Approach. This research data is a secondary data namely from statute and some literature which is analysed by using content of analysis technique.
In rule Section Number 28 of Statute Number 32 Year 2004 About Area Governance is arranged about the prohibition order to regional leader, one of them is the prohibition doing corruption, collution, nepotism, and accept the money, goods and/or service from other party which influencing decision or action to do. But if there are anticipation of doing a criminal of corruption, investigation to regional leader must based on the permit or written permission from President, as arranged in Section 36 sentence (1) of Statute Number 32 Year 2004 About Area Governance. The compulsion of existence of application of permit or written permission raised by Investigator ( Public Attorney And Police of RI) to President, in the reality exactly represent one of constraint of corruption eradication in Indonesia. Fortunately, The Investigator of Commission of Corruption Eradication ( KPK) doesn’t have to pass the " barricade". Related to the investigation procedures, there are some weaknesses, among others is that the procedures oppose against the ground of Equality Before The Law, there is no clear standard about duration of permit or written permission is took outside by President, the process is very complicated bureaucracy and administration and circumvent, The rule Section Number 36 sentence (2) is made an appliance of keep postponing the investigation up, the permit which written by President has the character of partial or in any measure, the permit giving is not followed with the monitoring step and evaluate, and also in a few the permit giving case are not followed with the President step to stop a regional leader temporary when changes over the status become defendant.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan mengenai keberlakuan tata cara penyidikan terhadap kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah beserta kelemahan-kelemahan yang terdapat pada tata cara tersebut.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach). Data penelitian ini adalah data sekunder yakni dari undang-undang dan beberapa literatur yang kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis isi (content of analysis).
Dalam ketentuan Pasal 28 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah diatur mengenai larangan bagi kepala daerah, salah satunya adalah larangan melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya. Namun jika terdapat dugaan tindak pidana korupsi, penyidikan terhadap kepala daerah haruslah atas izin atau persetujuan tertulis dari Presiden, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Keharusan adanya permohonan izin atau persetujuan tertulis yang diajukan oleh Penyidik (Kejaksaan dan Kepolisian RI) kepada Presiden ini ternyata justru merupakan salah satu kendala pemberantasan korupsi di Indonesia. Beruntung, Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak harus melewati “rintangan” tersebut. Terkait dengan tata cara penyidikan tersebut, terdapat beberapa kelemahan, di antaranya adalah bahwa tata cara tersebut bertentangan dengan asas Equality Before The Law, belum ada standar yang jelas mengenai jangka waktu keluarnya izin atau persetujuan tertulis dari Presiden, proses administrasi dan birokrasi yang sangat rumit dan berbelit-belit, ketentuan Pasal 36 ayat (2) dijadikan tarik-ulur dan mengundur-undur pemeriksaan, izin tertulis Presiden bersifat parsial atau tidak menyeluruh, pemberian izin tertulis tidak diikuti dengan langkah monitoring dan evaluasi, serta dalam beberapa perkara pemberian izin tersebut tidak diikuti dengan langkah Presiden untuk memberhentikan sementara ketika kepala daerah beralih status menjadi terdakwa.