Abstrak


Dampak Alih Guna Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Perubahan Diversitas Cacing Tanah dan Fungsinya Dalam Mempertahankan Pori Ma Tanah


Oleh :
Widyatmani Sih Dewi - - Fak. Pertanian

Diversitas dan populasi cacing tanah mengalami penurunan dengan konversi hutan menjadi lahan pertanian yang menyebabkan berkurangnya lapisan seresah secara drastis dan penurunan laju guguran seresah. Terganggunya ekosistem setelah konversi hutan muncul pada skala waktu yang berbeda sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai masalah: berkurangnya kualitas air (tingginya konsentrasi sedimen, unsur hara, dan senyawa toksik lainnya), banjir, kekeringan, kebakaran, longsor, hama, dan penyakit tanaman. Pada tingkat plot, alih guna lahan menyebabkan penurunan kesuburan tanah yang ditunjukkan oleh pemadatan tanah, rendahnya kandungan bahan organik tanah, dan tingginya kehilangan hara ke lapisan tanah yang lebih dalam ketika ketersediaannya dalam tanah (untuk sementara waktu) melebihi dari yang dibutuhkan oleh tanaman. Dalam hubungannya dengan bentang lahan agroforestri kopi ‘baru’ yang berasal dari hutan, disusunlah 4 pertanyaan penelitian meliputi: (1) Benarkah konversi hutan menjadi lahan pertanian mempengaruhi diversitas dan kepadatan populasi cacing tanah? Dapatkah sistem agroforestri berbasis pohon kopi mempertahankan diversitas cacing tanah? (2) Seberapa cepat diversitas cacing tanah berubah setelah konversi hutan? Apakah diversitas cacing tanah berhubungan dengan dengan spesies pohon yang terdekat? (3) Apakah benar perubahan diversitas cacing tanah terutama berhubungan dengan perubahan iklim mikro (suhu dan kelembaban tanah), atau dengan ketersediaan makanan (seresah dan bahan organik tanah)? (4) Apakah perubahan komposisi spesies dan/atau diversitas cacing tanah berhubungan dengan perubahan pori makro tanah setelah konversi hutan? Serangkaian aktivitas penelitian telah dilakukan di Sumberjaya, Lampung Barat dari Januari 2004 hingga Desember 2005. Studi inventori dilakukan pada 7 sistem penggunaan lahan (SPL): (1) Hutan alami, (2) Hutan alami yang telah terganggu aktivitas manusia, (3) Sistem agroforestri multi strata berbasis pohon kopi dengan berbagai pohon penaung: pohon-pohon penambat nitrogen (Erythrina subumbrams dan Gliricidia sepium), pohon buah-buahan dan pohon berkayu lain nya, (4) Sistem kopi monokultur, (5) Sistem tanaman semusim tidak intensif, (6) Sistem hortikultura intensif, dan (7) Lahan alang-alang (terdegradasi). Studi yang lebih mendalam selanjutnya dikonsentrasikan pada sistem agroforestri milik petani untuk mempelajari perubahan diversitas cacing tanah setelah konversi hutan dan akibatnya dalam mempertahankan struktur tanah. Sebelas spesies cacing tanah ditemukan dari tujuh sistem penggunaan lahan di Sumberjaya: 4 spesies native dan 7 spesies eksotik (kosmopolitan). Pada lahan hutan alami ditemukan 3 spesies cacing tanah sedangkan pada lahan pertanian ditemukan 2-5 spesies. Konversi hutan menyebabkan hilangnya 3 spesies native yaitu Metaphire sp.1 (epigeik), Metaphire javanica grup (anesik), dan Megascolex sp (endogeik). Gangguan antropogenik menyebabkan spesies eksotik (endogeik) Pontoscolex corethrurus menjadi spesies yang dominan pada sistem pertanian. Namun Indeks Diversitas Shannon-Wiener yang lebih tinggi (0,76) ditemukan pada sistem agroforestri berbasis pohon kopi bila dibandingkan dengan hutan terganggu (0,24). Indeks Diversitas tertinggi ditemukan pada hutan alami (1,04). Kepadatan populasi tertinggi ditemukan pada sistem kopi monokultur (463 ekor m-2), kepadatan terendah ditemukan pada hutan alami (32 ekor m-2), sedangkan kepadatan pada sistem lainnya bervariasi antara 230-350 ekor m-2. Ukuran cacing tanah (g/ekor) pada hutan yang alam adalah lebih besar (0,30 g/ekor) bila dibandingkan dengan spesies sama yang ditemukan pada sistem agroforestri. Hasil percobaan pemindahan seresah (litter transfer) menunjukkan bahwa lebih rendahnya diversitas (R2=0,71**), kepadatan (R2=0,49**), dan ukuran tubuh (R2=0,57**) cacing tanah pada agro-ekosistem secara langsung dan erat berhubungan dengan lebih rendahnya kadar air tanah. Tidak ada pengaruh nyata dari penambahan seresah (atau inokulasi tanah), dari sistem penggunaan lahan yang berbeda terhadap diversitas kepadatan, dan ukuran tubuh cacing tanah. Suhu tanah yang lebih tinggi karena terbukanya tutupan kanopi kemungkinan berpengaruh tidak langsung terhadap diversitas cacing tanah. Data juga menunjukkan bahwa berkurangnya biomasa cacing (g m-2) berhubungan (R2=0,25*) dengan lebih rendahnya kandungan bahan organik tanah (BOT) fraksi kasar (2,0 mm – 250 µm), tetapi tidak ada hubungan nyata antara kepadatan cacing tanah dengan BOT. Hasil survei pada berbagai sistem penggunaan lahan menunjukkan bahwa ukuran tubuh cacing tanah telah berubah sejak tahun pertama konversi hutan menjadi kebun kopi (1 tahun), sedangkan diversitas berubah secara nyata setelah 4 tahun. Tujuh tahun setelah konversi hutan, tidak ada perbedaan kepadatan populasi yang nyata antara sistem agroforestri kopi dengan hutan terganggu, namun ukuran tubuh cacing (nisbah biomasa/kepadatan populasi) berkurang. Perubahan diversitas dan kepadatan cacing tanah pada berbagai umur sistem kopi lebih erat berhubungan dengan lebih rendahnya kadar air tanah daripada lebih rendahnya kandungan bahan organik tanah. Variasi ukuran tubuh cacing tanah sekitar 47% ditentukan oleh lebih rendahnya kandungan lengas tanah pada sistem agroforestri kopi bila dibandingkan dengan hutan. Jarak terhadap batang pohon dalam sistem agroforestri kopi tidak berpengaruh terhadap populasi dan diversitas cacing tanah, kemungkinan karena jarak tanam (2 m x 2 m) cukup menyediakan penutupan tanah dan merawat kelengasan tanah. Makro pori tanah di hutan alami (20%) dalah lebih tinggi dari pada sistem agroforestri berbasis pohon kopi (8%), sistem kopi monokultur (6%), dan lahan alang-alang (12%). Penurunan pori makro tanah pada sistem pertanian ± 50% berhubungan dengan lebih kecilnya ukuran tubuh cacing tanah dari kelompok anesik, yang mengambil seresah pada saat aktivitas makan dan membawanya ke lapisan tanah yang lebih dalam, dan kelompok endogeik (pemakan tanah). Hilangnya spesies native Metaphire javanica grup dan Megascolex sp. pada ekosistem pertanian secara nyata menyebabkan penurunan makro pori tanah. Pada studi ini menunjukkan bahwa ± 87% lebih tingginya makro pori tanah (bidang vertical) pada hutan berhubungan dengan tingginya biomasa akar. Hasil ini menunjukkan bahwa menjaga ketebalan seresah yang lebih tinggi pada permukaan tanah adalah penting untuk mempertahankan tingginya pori makro tanah pada bidang vertikal (R2=0,64), yang sangat penting mengurangi limpasan permukaan dan erosi. Perbaikan biodiversitas di atas tanah pada sistem agroforestri kompleks adalah sebuah kunci sukses dalam merawat diversitas cacing tanah dan mengoptimumkan fungsi ekosistemnya.