Abstrak
Analisis terhadap sistem pembuktian terbalik terbatas tindak pidana korupsi menurut UU no.31 tahun 1999 JO UU no.20 tahun 2001
Oleh :
Fatma Ayu Jati Putri - - Fak. Hukum
Karya ilmiah ini bertujuan untuk menjawab 2 (dua) persoalan yakni (1). Bagaimanakah penerapan sistem pembuktian terbalik yang diatur dalam UU No. 20 tahun 2001 perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi ? (2). Hambatan-hambatan apakah yang ditemui dalam penerapan sistem pembuktian di dalam UU No 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 dan bagaimana pemecahan terhadap hambatan-hambatan tersebut ?.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum empiris. Lokasi penelitian di PN. Surakarta. Data empiris diperoleh dari wawancara dengan hakim mengenai penerapan sistem pembuktian terbalik. Sedangkan data sekunder yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diperoleh dari putusan Pengadilan Negeri terutama di P.N Surakarta dan P.N Raba Bima.
Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa sistem pembuktian terbalik sebagaimana dianut dalam UU No. 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 lebih jelas dan maju perumusannya dibanding dengan UU No. 3 tahun 1971. Sistem pembuktian terbalik menurut UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 bersifat terbatas, kecuali untuk gratifikasi. Dari penelitian kasus putusan Pengadilan Negeri yang memutus perkara tindak pidana korupsi, memang sistem pembuktian didasarkan pada sistem pembuktian menurut KUHAP yakni negatif wettelijk . Hanya terdapat klausul apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakuan korupsi maka pembelaan terdakwa tersebut dapat dijadikan oleh hakim sebagai dasar putusan yang menguntungkan terdakwa, namun Jaksa Penuntut Umum tetap berperan untuk membuktikan dakwaannya. Nampaknya rumusan yang terdapat pada UU sekarang mendapat dukungan secara empiris dari para hakim responden. Mereka beranggapan bahwa UU pemberantasan tindak pidana korupsi yang sekarang dinilai cukup memadai.
Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat hambatan-hambatan. Hambatan tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan hakim terutama pada profesional dari Jaksa Penuntut Umum yang dinilai perlu ditingkatkan, disamping itu perlunya kejujuran aparat penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum dan hambatan yang paling pelik adalah upaya tersangka tindak pidana korupsi yang berupaya mengalihkan hasil korupsinya. Oleh karena itu sistem pembuktian terbalik cukup memadai guna menangkal pelaku. Pada umumnya modus operandi tindak pidana korupsi cukup sulit, rumit, terkadang tidak terdeteksi dan dilakukan oleh mereka yang pintar. Sistem pembuktian terbalik dapat dilakukan baik sebelum atau selama proses pemeriksaan persidangan. Sistem pembuktian terbalik tersebut pada tahap sebelum proses persidangan peran aparat penegak hukum (Polisi dan atau Jaksa) untuk mengumpulkan alat bukti yang sangat penting sebagai dasar tuntutan ke pengadilan.
Saran yang dapat dikemukakan adalah perlunya disusun strategi dalam penanggulangan tindak pidana korupsi antara lain perlunya formulasi perumusan sistem pembuktian terbalik kedepan bilamana perlu diubah dari “hak” menjadi “kewajiban” terdakwa/tersangka untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan perbuatan korupsi. Perlunya aparat penegak hukum untuk meningkatkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum. Perlunya kerjasama antara aparat penegak hukum.