Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) kondisi sosial ekonomi masyarakat Tasikmalaya menjelang kerusuhan, (2) deskripsi kerusuhan tersebut mulai dari aksi protes terbuka masyarakat Tasikmalaya sampai kepada aksi bakar-bakaran, (3) dampak dan upaya penanganan kerusuhan Tasikmalaya tersebut. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Penelitian kualitatif mengarahkan kegiatannya secara dekat pada masalah kekinian dan pada peristiwa nyata dalam dunia aslinya, bukan sekedar laporan. Sedangkan metode deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah informan dan dokumen. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan analisis dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling atau sampling bertujuan sebab peneliti cenderung memilih informan yang dianggap tahu persis dan dapat dipercaya untuk menjadi nara sumber data melalui teknik snow ball atau cuplikan bola salju. Validitas data yang digunakan adalah trianggulasi data atau trianggulasi sumber dan trianggulasi metodologis. Sedangkan teknik analisis yang digunakan adalah interaktif. Dari hasil penelitian, di Tasikmalaya terdapat perbedaan masyarakat baik secara vertikal maupun horizontal yang rawan memunculkan konflik. Selain itu masyarakat Tasikmalaya dikenal sebagai masyarakat yang agamis terutama jika dilihat dari banyaknya jumlah masjid, musholla, dan pondok pesantren dan hal ini menguatkan budaya Islam di Tasikmalaya. Perbedaan masyarakat baik secara vertikal maupun horizotal memunculkan kecemburuan sosial terutama dari lapisan masyarakat marjinal. Kecemburuan sosial yang terjadi adalah kecemburuan terhadap ekonomi yang ada. Sendi-sendi perekonomian di Tasikmalaya dikuasai oleh etnis Cina. Keadaan ini didukung oleh aparat pemerintah setempat yang semestinya lebih melindungi kepentingan masyarakat pribumi tetapi malah justru sebaliknya, terbukti dengan adanya kasus pasar Cikurubuk. Kekesalan terhadap hal ini mencapai puncaknya ketika adanya kasus pemukulan seorang ustadz dan dua orang santrinya oleh oknum polisi. Perlakuan polisi sebagai aparatur negara yang sudah memiliki persepsi negatif dari masyarakat dianggap telah melanggar simbol sakral agama yang hidup yaitu pemuka agama akibatnya adalah reaksi yang keras dari masyarakat yang dikenal agamis itu. Peristiwa kerusuhan sosial di Tasikmalaya merupakan kompleksitas dari permasalahan yang ada. Masyarakat marah terhadap aparat negara, masyarakat juga marah terhadap keadaan perekonomian. Luapan kemarahan diekspresikan massa melalui aksi agresif yaitu pembakaran terhadap sejumlah fasilitas milik etnis Cina, sejumlah kendaraan, tempat-tempat peribadatan agama lain seperti gereja dan kelenteng yang dianggap budaya asing dan simbol kemapanan.