;

Abstrak


Telaah kritis sistem pembuktian menurut undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang kitab undang-undang hukum acara pidana dengan undang-undang nomor 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang


Oleh :
Bambang Edhy Supriyanto - S310906215 - Fak. Pertanian

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melakukan telaah kritis proses kebijakan pembuktian pencucian uang dari segi formulasi pembentukan hukum, mengetahui konsekuensi dan implikasi pembuktian dengan dua sistem pembuktian, mengetahui kelemahan dan kelebihan sistem pembuktian pencucian uang. Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian doktrinal/normatif dengan mendasarkan pada konsep hukum yang kedua dari Soetandyo Wignyosoebroto. Bentuk penelitian yang digunakan adalah diagnostik. Analisis datanya menggunakan analisis kualitatif dengan menggunakan prinsip logis, sistematis dan juridis . Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : a) Kebijakan Pembuktian dalam UU TPPU pada prinsipnya telah memenuhi formulasi pembentukan hukum, namun dalam hal input terdapat suatu hambatan yaitu tidak terdapatnya feedback yaitu ketercapaian out comes yang dihasilkan, karena UU TPPU terlalu didominasi oleh komponen politik sebagai komponen utama, dan kurang memperhatikan komponen ekonomi dalam hal ini adalah kerugian yang diderita negara sebagai akibat TPPU.Dalam formulasi suatu peraturan hendaknya memperhatikan aspek filosofis, sosiologis dan yuridis sehingga dalam tataran pelaksanaan dapat terwujud tujuan dari hukum tersebut, b) Konsekuensi dan implikasi dari terdapatnya persamaan dan perbedaan pengaturan pembuktian antara KUHAP dan UU TPPU yaitu persamaannya adalah bahwa kedua undang-undang tersebut sama sama menggunakan sistem pembuktian dan alat bukti yang diatur dalam pasal 184 KUHAP. Adapun perbedaannya adalah bahwa dalam KUHAP tidak diatur sistem pembuktian terbalik dan alat bukti elektronik yang merupakan suatu perluasan alat bukti dalam UU TPPU. c) Dalam hal pembuktian TPPU terdapat kelemahan berupa disamakannya kekuatan alat bukti elektronik disamakan dengan alat bukti petunjuk sehingga dapat dengan mudah dikesampingkan oleh alat bukti lain sesuai dengan ketentuan pasal 184 KUHAP. Sedangkan dalam pembuktian terbalik terdapat kelemahan karena adanya asas retroaktif, berkenaan dengan asas yang pada hakekatnya hukum tidak boleh berlaku surut, kurangnya pengaturan alat bukti elektronik, adanyastruktur penegak hukum yang kurang memahami secara komprehensif tentang pembuktian, serta terbenturnya pembuktian dengan sistem birokrasi, serta surat fiktif tentang harta kekayaan yang seakan-akan sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti surat.