Abstrak


Dinamika Kepemilikan Tanah Pabrik Gula Kedoengbanteng Tahun 1884-1985


Oleh :
Michael Indra Permana - C0514034 - Fak. Ilmu Budaya

Michael Indra Permana, C0514034, 2019, Dinamika Kepemilikan Tanah Pabrik Gula Kedoengbanteng Tahun 1884-1985, “Skripsi: Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta”.
Masalah yang akan dibahas di penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimana latar belakang berdirinya Pabrik Gula Kedoengbanteng dan status kepemilikan tanahnya tahun 1884-1932. (2) Bagaimana perkembangan Pabrik Gula Kedoengbanteng tahun 1925-1932. (3) Bagaimana perubahan status kepemilikan tanah bekas Pabrik Gula Kedoengbanteng tahun 1933-1985. 
Sejalan dengan masalah penelitian, maka penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahap, pertama adalah metode heuristik sebagai langkah awal dalam mencari sumber data baik lisan maupun tulisan, metode kedua ialah dengan kritik sumber untuk memverifikasi keaslian data, ketiga adalah dengan metode interpretasi untuk menafsirkan makna-makna yang terkandung dari data yang diperoleh, dan terakhir adalah metode historiografi untuk menulis peristiwa sejarah dari data yang didapat agar kronologis dan sistematis. 
Simpulan penelitian menunjukkan Pabrik Gula Kedoengbanteng menjadi salah satu langkah untuk mendapatkan keuntungan dari sektor industi gula ketika gula menjadi komoditi populer di abad 19 dan 20. Dibangun di Desa Gondang Kabupaten Sragen pada tahun 1884 oleh salah satu pihak swasta Belanda, Pabrik Gula Kedoengbanteng berorientasi kepada motif keuntungan dikarenakan selain adanya penduduk yang dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja, lokasi wilayah Desa Gondang juga cukup strategis. Ketika pabrik didirikan tahun 1884 di tanah Desa Gondang, afdeeling Sragen yang berada di bawah kekuasaan raja Mangkunegaran, anggapan bahwa “tanah adalah wewenang kerajaan” terlihat jelas ketika pendiri pabrik gula menyewa tanah dengan harga rendah untuk jangka waktu 139 tahun. Setelah pabriknya ditutup, raja kembali memegang kendali atas tanah hingga hadirnya kebijakan perubahan saat kemerdekaan Indonesia. Dengan kebijakan perubahan ini, masyarakat mengusulkan tanah sisa peninggalan pabrik untuk dijadikan hak milik pribadi kepada Pemerintah Desa Gondang. Pemerintah Desa Gondang pun turun tangan untuk menjadikan tanah peninggalan pabrik sebagai sarana prasarana umum.

Kata Kunci: Pabrik gula, gula, Kedoengbanteng, Gondang, Sragen, tanah

Michael Indra Permana, C0514034, 2019, Dinamika Kepemilikan Tanah Pabrik Gula Kedoengbanteng Tahun 1884-1985, “Thesis: History Department Faculty of Cultural Sciences Universitas Sebelas Maret Surakarta”.
The research questions raised in this research were: (1) What was the background of the establishment of the Kedoengbanteng Sugar Factory and the status of land ownership in 1884-1932. (2) How was the development of the Kedoengbanteng Sugar Factory in 1925-1932. (3) How the land ownership status changed for the former Kedoengbanteng Sugar Factory during 1933-1985.
In line with the research questions, this study used a historical method consisting of four stages, first was the heuristic method as a first step in finding data sources both oral and written, the second method was source criticism for verifying the authenticity of the data, third was the use of interpretation method for interpreting the meanings contained in the data, and finally the historiographic method for writing historical events in chronological and systematic order.
This research has drawn a conclusion that the Kedoengbanteng Sugar Factory was one of sugar enterprises designed to gain profits since sugar became popular commodity during 19th and 20th centuries. Built in Desa Gondang, Sragen Regency in 1884 by one of the Dutch private companies, the Kedoengbanteng Sugar Factory sought profits since the Desa Gondang had residents which could be leveraged as labors while the location of the Gondang Village area was also quite beneficial. When the sugar factory was established on the land of Desa Gondang, Sragen Regency, which was previously under the authority of the King of Mangkunegaran, the notion of "land is the royal authority" was evident as the Dutch private company inexpensively rented the land for a period of 139 years to the King of Mangkunegaran. After the factory was closed, the King regained control of the land until there was a change of policy after Indonesian independence. With a new policy, the Desa Gondang residents agreed to propose the land of the factory to turn it into private property to the Desa Gondang officials. The Desa Gondang officials helped to make the factory’s inheritance land as a means of public infrastructure.

Keywords: Sugar factory, sugar, Kedoengbanteng, Gondang, Sragen, land