Abstrak


WACANA ETNIK MINANGKABAU DALAM FILM INDONESIA


Oleh :
Herry Nur Hidayat - T151908007 - Sekolah Pascasarjana

Film bermuatan Minangkabau dapat dipandang mengandung wacana dengan tujuan tertentu. Penelitian ini menguraikan pemaknaan terhadap wacana etnik Minangkabau dalam film ini juga menunjukkan sisi lain di balik etnisitas Minangkabau. Salah satunya adalah keterbukaan Minangkabau terhadap perubahan dan pengaruh dari luar etniknya. Penelitian ini menjawab pertanyaan dan sekaligus mengisi kesenjangan antara pemahaman etnisitas dengan sifat fiksionalitas sebuah karya seni (film).

Penelitian ini menggunakan kerangka analisis wacana kritis terhadap film-film bermuatan Minangkabau. Adapun sumber data penelitian adalah sembilan judul film, yaitu Harimau Tjampa (1953), Salah Asuhan (1972), Para Perintis Kemerdekaan (1977), Merantau (2009), Di Bawah Lindungan Ka’bah (2011), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013), Tabula Rasa (2014), Surau dan Silek (2017), dan Liam dan Laila (2018). Penelitian ini memandang film sebagai proses sosial sekaligus produk proses sosial. Oleh karena itu, aspek tekstual (pemaknaan) dan aspek produksi menjadi perhatian dalam penelitian ini. Proses produksi di sini dalam artian tujuan produksi dalam kerangka analisis wacana kritis.

Secara umum, analisis terhadap naratif pengisahan sembilan film Indonesia bermuatan etnik Minangkabau ini menunjukkan tiga pola representasi etnik Minangkabau. Pertama, era awal industri perfilman yang sekaligus era awal kemerdekaan (1950-an), yaitu representasi etnik Minangkabau dalam film yang menunjukkan pola dasar pencarian dan penentuan etnik Minangkabau sebagai bagian dari Indonesia. Hal ini ditunjukkan melalui keakuratan representasi etnik Minangkabau dalam film dan penggunaan bahasa Indonesia yang cukup formal.

Kedua, era 1970-an hingga 1990-an yang menunjukkan representasi etnik Minangkabau sebagai bagian dari Indonesia. Problem dan masalah sosial yang bersifat general serta peran Minangkabau dalam perjuangan kemerdekaan dikemukakan secara signifikan. Di samping itu, representasi etnik Minangkabau dalam film juga turut membangun karakter “film nasional”.

Ketiga, era tahun 2000-an hingga sekarang. Tanpa disadari, pada era ini Minangkabau telah menjadi sebuah komoditas industri. Kemunculannya dalam film tidak lagi murni merepresentasikan keminangkabauan. Minangkabau dalam film hanya sebatas sarana penceritaan yang sekaligus membangun wacana dalam latar belakang ekonomi dan industri.

Analisis terhadap wacana etnik Minangkabau yang muncul dalam film bermuatan Minangkabau ini diperoleh dua wacana besar dalam kesembilan film tersebut. Pertama,  wacana perubahan sosial yang terjadi di Minangkabau. Hal ini direpresentasikan melalui pertentangan sistem kekerabatan matrilineal dengan sistem keluarga inti, motif merantau yang cenderung ekonomis, penolakan perjodohan, peran dan kedudukan mamak dan kamanakan, serta peran dan kedudukan perempuan. Kedua, wacana kehidupan multietnik masyarakat Minangkabau baik secara internal maupun eksternal. Hal ini muncul melalui representasinya dalam sistem perkawinan dan merantau.

Adapun latar belakang terbangunnya wacana etnik Minangkabau dalam film Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, dihadirkannya keminangkabauan dalam film merupakan representasi Minangkabau sebagai komoditas dalam dunia industri kreatif berbasis budaya. Kedua, Minangkabau dihadirkan sebagai wujud idealisme dan etnisitas sutradara. Hal ini dimaksudkan sebagai strategi untuk menyiasati tekanan dunia industri. Pada bagian-bagian tertentu, semangat etnisitas sutradara muncul sebagai sebuah strategi mengenalkan dan memahamkan penonton akan etnisitas Minangkabau sebagai bagian dari keragaman etnik di Indonesia. Strategi ini ditunjukkan melalui teknik-teknik sinematografi yang menunjukkan kekhasan Minangkabau.

Wacana pertentangan dunia modern dengan tradisional telah membangun wacana etnik Minangkabau di dalam film sebagai “Minangkabau terbuka” yang indah, romantis, dan eksotik yang layak “dijual”. Di satu sisi, bangunan wacana etnik Minangkabau dalam film adalah hasil pengejawantahan sudut pandang dunia Barat terhadap Indonesia, terutama Minangkabau. Di sisi lain, dunia baru yang terbangun itu dapat pula dipandang sebagai wujud kesadaran akan keragaman etnik di Indonesia.