Abstrak


POLITIK ENERGI INDONESIA DALAM MEWUJUDKAN PARIS AGREEMENT MELALUI SISTEM ENERGI GEOTHERMAL PADA KEPEMIMPINAN PRESIDEN JOKO WIDODO 2016-2020


Oleh :
Ahza Arzanul Haq - D0417006 - Fak. ISIP

Indonesia merupakan sebuah negara berkembang yang masih menggunakan sumber energi fosil sebagai sumber energi utama dan terbesar meskipun sebenarnya mempunyai kekayaan dan potensi besar dalam sumber energi energi baru terbarukan khususnya panas bumi. Terdapat beberapa hambatan bagi Indonesia untuk beralih dari energi fosil ke energi baru terbarukan seperti keterbatasan pengetahuan dan teknologi. Terselenggaranya Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change 2015 menjadi kesempatan Indonesia dalam proses dekarbonisasi sekaligus pengembangan EBT panas bumi Indonesia. Namun pada praktiknya, perusahaan-perusahaan besar di bidang panas bumi seperti Enel Green Power yang tidak puas dan mempertimbangkan untuk mundur dari Indonesia. Tulisan ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang akan menganalisa bagaimana politik energi khususnya panas bumi yang dilakukan Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo 2016-2020. Analisa dilakukan dengan menggunakan teori politik energi dari Brenda Shaffer yang melihat potensi energi selain sebagai alat penghubung diplomasi namun di sisi lain juga bisa menjadi senjata yang dapat mengacaukan politik domestik. Dari penelitian ini kita mengetahui bahwa Indonesia menggunakan NDC dari Paris Agreement untuk mengambil keuntungan dari investor dengan cara menarik investor pada 2016, membangun industri panas bumi, menurunkan harga energi pada 2017 untuk mendapatkan energi murah dan memenuhi kebutuhan energi dalam negeri. Akan tetapi dengan adanya ketidak siapan peraturan dan regulasi EBT panas bumi membuat investor asing tidak puas dan ingin menghentikan operasi di Indonesia di mana hal ini dapat menjadi citra buruk investasi panas bumi di Indonesia kedepannya.