Abstrak


Artikulasi Politik Pengakuan dari Penghayat Kepercayaan di Kabupaten Karanganyar, Indonesia(Studi Kualitatif Deskriptif Penghayat Kepercayaan Kabupaten Karanganyar)


Oleh :
Mahmut Tri Harjanto - D0318034 - Fak. ISIP

Perbedaan perlakuan dari pemerintah terhadap agama dan kepercayaan menyebabkan diskriminasi kepada Penghayat Kepercayaan. PNPS No 1 Tahun 1965 hanya mengakui enam agama resmi di Indonesia sehingga agama atau kepercayaan lain tidak diakui secara formal. Padahal, negara tidak memiliki pedoman khusus yang mendefinisikan agama. Hal ini mengakibatkan berbagai diskriminasi terhadap pemenuhan hak sosial-materiil. Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016  mengarkomodir artikulasi dari beberapa Penghayat Kepercayaan dari berbagai daerah. Hasilmya, pemerintah mulai mengakui keberadaan Kepercayaan secara formal dan kedudukan yang setara dengan agama resmi. Namun, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat yang berada di naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini masih menyebabkan ambigutias kedudukan Kepercayaan di antara agama dan budaya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis diskriminasi dan  artikukulasi politik beserta dampaknya terhadap pemenuhan hak sipil Penghayat Kepercayaan di Karanganyar. Penelitian menggunakan metode kualitatif-deskriptif  dengan teknik pemilihan sampel purposive sampling Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat empat Paguyuban Pengahayat Kepercayaan di Karanganyar. Tiga dari empat paguyuban tersebut dapat diidentifikasi sebagai agama melalui kacamata ilmu sosial karena memiliki ciri agama yaitu kepercayaan agama, ritus keagamaan, simbol keagamaan, pengalaman keagamaan dan masyarakat agama. Sedangkan salah satu paguyuban sulit untuk diidentifikasi karena ajarannya yang bersifat eksklusif. Diskriminasi yang terjadi pada Penghayat Kepercayaan di Karanganyar adalah kebijakan yang tidak mendukung mereka untuk mengekspresikan identitas secara formal dan pendidikan kepercayaan bagi peserta didik penghayat. Namun mereka kurang aktif berartikulasi karena munculnya Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016  dan Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 yang dapat menjadi jalan keluar dari diskriminasi.